Tiga Kementerian Diingatkan Tindaklanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan
Berita

Tiga Kementerian Diingatkan Tindaklanjuti Rekomendasi KPK Soal Defisit BPJS Kesehatan

KPK berharap ketiga kementerian tersebut menindaklanjuti rekomendasi KPK secara serius.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol

Tiga kementerian diminta menindaklanjuti rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. "Merespons surat KPK tanggal 30 Maret 2020 tentang rekomendasi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, Sekretariat Negara (Setneg) meminta tiga kementerian untuk menindaklanjuti rekomendasi KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding melalui keterangannya di Jakarta, Senin (8/6/2020).

KPK telah menerima tembusan surat dari Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) tersebut yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri.

"Dalam surat tersebut, Setneg meminta ketiga kementerian itu menindaklanjuti rekomendasi KPK terkait defisit BPJS Kesehatan sesuai kewenangan masing-masing," kata Maryati Kuding.

Ia mengatakan KPK menghargai hal tersebut dan segera akan mengagendakan pertemuan dengan segenap pihak terkait agar bisa membahas langkah selanjutnya. "KPK berharap ketiga kementerian tersebut menindaklanjuti rekomendasi KPK secara serius," ujar Ipi. (Baca Juga: Soal Defisit BPJS Kesehatan, Ini Rekomendasi KPK)

Pada Maret 2020 lalu, dalam surat KPK kepada Presiden sebagaimana paparan yang disampaikan kepada publik, KPK merekomendasikan beberapa alternatif solusi yang diyakini dapat menutupi defisit BPJS Kesebeban yang mencapai Rp12,2 triliun pada 2018 tanpa harus menaikkan iuran.

Pertama, Kemenkes diminta mempercepat penyusunan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) esensial dari target 80 jenis PNPK. Hingga Juli 2019 baru tercapai 32 PNPK. Ketiadaan PNPK akan mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu. Misalnya, kasus klaim katarak 2018 dari total klaim sebesar Rp2 triliun, diestimasi unnecessary treatment maksimal Rp200 miliar. Di tahun 2018 terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi.

Kedua, opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik akibat gaya hidup, seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Total klaim penyakit katastropik ini adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada 2018 sebesar Rp94 triliun yaitu Rp28 triliun. Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatment sebesar 5 sampai 10 persen atau sebesar Rp2,8 triliun dapat dikurangi.

Tags:

Berita Terkait