Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Disebut Gagal Penuhi Lima Tujuan
Berita

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Disebut Gagal Penuhi Lima Tujuan

Bagi Arsul Sani, apapun sistem pemilu yang dipilih memiliki kelemahan dan kelebihan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Dewan Perwakilan Rakyat tengah menyusun revisi Undang-Undang (RUU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satu poin yang menjadi perbincangan tentang sistem pemilu. Terdapat dua pandangan sistem pemilu yang mengemuka yakni sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup. Penerapan sistem proporsional terbuka diterapkan dalam pemilu-pemilu sebelumnya berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Dalam makalah dalam sebuah diskusi di parlemen beberapa waktu lalu, Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Airlangga Prof Ramlan Surbakti menilai sistem proporsional terbuka bagi pemilih calon anggota legislatif DPR dan DPRD yang diterapkan sejak Pemilu 2009 gagal mencapai lima tujuan. Pertama, gagal memperkuat partai sebagai institusi demokrasi, tetapi yang terjadi partai dikelola secara oligarki atau personalistik.

Kedua, gagal menyederhanakan partai politik. Menurutnya yang dikehendaki sistem proporsional yakni multipartai sederhana, tetapi yang terjadi tetap sistem multipartai yakni 9 partai hasil Pemilu 2009; 10 partai hasil Pemilu 2014; dan 9 partai hasil pemilu 2019. Ketiga, gagal menciptakan sistem perwakilan politik yang representatif. Bahkan, malah terbentuk sistem perwakilan politik yang tidak jelas. “Representativeness tidak, akuntabilitas juga tidak,” kata dia dalam makalah dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Keempat, gagal menciptakan pemerintahan yang efektif di tingkat nasional maupun daerah. Kelima, gagal menghasilkan politisi kompeten dan berintegritas. Sebaliknya malah  menghasilkan politisi yang korup. Dia menilai alasan gagalnya sistem pemilu proporsional terbuka mencapai tujuannya lantaran proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009 bukan sistem pemilu campuran yang dikenal dalam kajian pemilu, melainkan sistem pemilu campur aduk (campuran).

Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2007 itu menerangkan fakta proporsional campuran. Pertama, pola pencalonan mengadopsi “daftar calon partai” berdasarkan nomor urut calon. Namun, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kedua, peserta pemilu berdasarkan Pasal 22E UUD ayat (3) 1945 adalah partai politik. Namun, yang bersaing dalam pemilu bukanlah partai, melainkan calon anggota legislatif dari berbagai partai.

Artinya, terbuka kemungkinan partai tidak bersaing dengan partai lain, melainkan calon dari partai yang sama bersaing di daerah pemilihan yang sama. Ketiga, Partai Politik Peserta Pemilu menetapkan visi, misi dan program partai sebagai materi kampanye. Namun, calon yang melakukan kampanye cenderung tak jelas apa yang disampaikan ke pemilih.

Keempat, calon yang mencari dan menggunakan dana kampanye (karena calon yang melakukan kampanye pemilu). Tetapi P4 yang menyusun dan melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Kelima, calon yang berupaya dengan segala cara mendapatkan suara agar terpilih, tetapi Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik Peserta Pemilu yang berwenang mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keputusan KPU atas hasil pemilu.

Tags:

Berita Terkait