Bahaya Teror di Ruang Akademik
Berita

Bahaya Teror di Ruang Akademik

Negara dianggap gagal memproteksi hak-hak konstitusional warga negara dengan membiarkan pelaku teror mencoreng dunia akademik.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Diskusi yang digelar Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bertajuk "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" batal digelar akibat panitia dan narasumber diteror. Berbagai teror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung serta ketua CLS mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka.

Teror dan ancaman ini berlanjut hinga 29 Mei 2020 dan tidak hanya menyasar nama-nama tersebut, tetapi juga anggota keluarga yang bersangkutan. Dosen Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti tidak membenarkan adanya tindakan ancaman kepada mimbar akademik untuk melakukan sebuah diskusi. Sudah jelas dalam konstitusi kita Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Bivitri mengatakan, demokrasi di Indonesia masih jauh dan belum selesai. Mungkin demokrasi secara prosedural seperti adanya pemilu sudah dilaksanakan, tetapi demokrasi subtantif ini jauh dari baik. “Kebebasan berpendapat tidak boleh dilanggar oleh siapapun,” katanya kepada Hukumonline, Sabtu (13/06). (Baca: Jeratan ‘Pasal Karet’ Ancam Kebebasan Berpendapat)

Teror ini tidak jelas dari pihak mana. Untuk itu, negara wajib melindungi warga negara untuk bebas berbicara. Bahkan, tegasnya, negara sendiri pun sama sekali tidak boleh melakukan pelarangan warga negara mengemukakan pendapat dalam kondisi apapun. Meski, dalam keadaan darurat perang dalam konteks hukum tata negara darurat dapat mengesampikan dulu, tetapi saat ini kondisinya bukan dalam keadaan perang. “Dalam kondisi saat ini (pandemi Covid-19, red) bahkan negara tidak boleh sama sekali melarang warga negara mengeluarkan pendapat,” tegasnya.

Salah satu narsumber Prof. Ni’matul Huda sudah melaporkan kepada polisi, tetapi kata Bivitri, seharusnya meski tidak ada laporan pun negara atau alat negara seperti polisi atau pun Menkopolhukam seharusnya bersikap tegas akan melindungi warga negara dari ancaman dan mengatakan bahwa tindakan ini tidak benar dan akan kami kejar orang yang mengancam tersebut. “Negara harus pro aktif melindungi warganya dalam kebebasan berpendapat, kasus sekecil apapun,” kata dia.

Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, apapun tema diskusinya, pelarangan tidak bisa dibenarkan. “Apapun tema diskusinya, sekalipun berkaitan dengan Presiden itu dijamin oleh Konstitusi, tidak bisa dilarang, tidak bisa diteror dan tidak bisa dihalang-halangi,” kata Feri kepada Hukumonline.

Bagi feri, sekalipun, diskusi itu mengenai pemakzulan dan impeachment Presiden, hal itu dibenarkan oleh konstitusi. Kalau dilihat dalam konstitusi, Pasal 7A dan 7B, Pasal 6A dan 6B serta Pasal 8 UUD 1945 yang menjadi satu rangkaian ini, termasuk syarat-syarat pemakzulan pun diatur dalam UUD 1945. “Maka, tentu mendiskusi pemakzulan pun konstitusional,” tandas Feri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait