Implementasi UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Dinilai Belum Efektif
Berita

Implementasi UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Dinilai Belum Efektif

Selama 12 tahun berlakunya UU ini belum ada pelaku rasisme yang dijerat hukum. Menghapus diskriminasi ras dan etnis tak cukup hanya sekedar penegakan hukum, tapi juga harus dibangun lewat budaya inklusif dengan membuka ruang interaksi sosial harus lebih lebar.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi aksi unjuk rasa mahasiswa Papua di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi aksi unjuk rasa mahasiswa Papua di Jakarta. Foto: RES

Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Rasial (1965) melalui UU No.29 Tahun 1999. Konvensi itu menjadi pedoman pembentukan UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Beleid yang diundangkan pada 10 November 2008 itu menyebut segala tindakan diskriminasi ras dan etnis bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD RI 1945, dan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). UU ini menegaskan setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Namun demikian, sudah 12 tahun UU No.40 Tahun 2008 berlaku, tapi pelaksanaannya dinilai belum efektif menjerat pelaku rasisme atau diskriminasi ras dan etnis. Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam mencatat sampai saat ini belum ada penegakan hukum terhadap kasus diskriminasi ras dan etnis.

Anam memberi contoh dalam kasus penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya medio Agustus 2019 lalu yang dikejar aparat bukan soal tindakan diskriminasi ras dan etnis, tapi perbuatan onar. “Kita punya UU yang bagus untuk menghapus diskriminasi ras dan etnis, tapi pelaksanaannya tidak efektif,” kata Choirul Anam dalam diskusi Webinar bertajuk “Mengatasi Rasisme Terstruktur di Indonesia” di Jakarta, Senin (15/6/2020).

Menurut Anam, konvensi penghapusan diskriminasi rasial menegaskan tidak ada perdebatan lagi menempatkan manusia sebagaimana kedudukannya sebagai manusia. Tak sekedar melakukan bentuk tindakan/perbuatan, hanya menyebut ras sendiri lebih unggul daripada ras lainnya merupakan bentuk diskriminasi ras.

Diskriminasi ras dan etnis itu bisa muncul secara terstruktur melalui kebijakan dan perilaku pembuat kebijakan. Dalam konteks HAM yang perlu dilakukan pemerintah yakni secara efektif melakukan tindakan untuk penegakan hukum terhadap pelaku diskriminiasi ras dan etnis.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof Melani Budianta menjelaskan sejarah diskriminasi rasial sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itu masyarakat dibagi sedikitnya menjadi 3 tingkat yang paling tinggi Eropa, Asia Timur seperti China dan Arab, terakhir pribumi. Kemudian, kaum China digunakan pemerintah kolonial untuk menarik pajak sekaligus menjadi bumper.

Tags:

Berita Terkait