Sejumlah Alasan RUU Haluan Ideologi Pancasila Dicabut dari Prolegnas
Utama

Sejumlah Alasan RUU Haluan Ideologi Pancasila Dicabut dari Prolegnas

Mulai ada keinginan menjadikan Pancasila menjadi UU, cacat formil dan materiil, hingga tak urgen prioritas di masa pandemi Covid-19. Mayoritas anggota DPD juga menolak RUU HIP ini.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap materi muatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) semakin menguat. Sebab utamanya, lantaran tidak memasukkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah NKRI Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atas Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dalam konsiderans.     

Karena itu, ada usulan agar RUU Haluan Ideologi Pancasila dicabut dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahunan ataupun jangka panjang. Bahkan, desakan penarikan RUU itu dari daftar Prolegnas disuarakan sejumlah anggota dewan.

Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Fadli Zon berpandangan setiap RUU tak boleh berpretensi menjadi Undang-Undang Dasar (UUD) yang memuat ideologi dan dasar negara. Bagi Fadli, wajar fatsun ketatanegaraan telah dilanggar dalam materi muatan RUU HIP yang berujung memancing penolakan berbagai elemen masyarakat. “Sebaiknya, RUU HIP ini ditarik saja dari Prolegnas,” kata Fadli dalam keterangannya, Selasa (15/6/2020).   

Setidaknya terdapat lima alasan draf RUU HIP perlu ditarik dari Prolegnas, bukan direvisi. Pertama, rumusan identifikasi masalah. Menurutnya bila membaca naskah akademik RUU HIP, rumusan identifikasi masalah semacam lebih tepat ketika hendak merumuskan UUD, bukan setingkat UU. (Baca Juga: Tap MPRS Pembubaran PKI Bakal Dimasukan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila)

Kedua, Pancasila menjadi dasar negara, sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, Pancasila seharusnya menjadi rujukan dalam setiap regulasi atau pembuatan UU. Ironisnya, RUU HIP malah hendak menjadikan Pancasila sebagai UU. Menurut Fadli, Pancasila menjadi standar nilai, bukan produk nilai. Nah, Pancasila dalam RUU HIP malah hendak dijadikan produk nilai. “Menurut saya, ada kekacauan logika disini,” kata Fadli.   

Untuk itu, dia mengingatkan Pancasila seharusnya tak boleh diatur oleh UU. Sebab, sejatinya seluruh produk hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan implementasi dari Pancasila. Sementara, satu-satunya UU yang dapat mengatur institusionalisasi Pancasila hanya UUD 1945, bukanlah UU di bawahnya, apalagi omnibus law. Dia khawatir bila RUU HIP diteruskan pembahasannya malah berujung kerancuan fatal di bidang hukum ketatanegaraan.

Ketiga, RUU HIP gagal memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Menurutnya, Pancasila dengan rumusan kelima silanya adalah ‘norma’. Rumusannya pun terjaga dalam naskah pembukaan UUD 1945. Sementara istilah ‘Trisila’ dan ‘Ekasila’ sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 RUU HIP hanyalah ‘wacana’ yang muncul saat gagasan Pancasila kali pertama dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait