Perbankan Awasi ‘Penumpang Gelap’ dalam Restrukturisasi Utang
Berita

Perbankan Awasi ‘Penumpang Gelap’ dalam Restrukturisasi Utang

Pemberian restrukturisasi utang hanya diberikan pada pelaku usaha yang terdampak Covid-19.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) menyebabkan kegiatan usaha masyarakat terhambat bahkan terhenti. Akibatnya, pelaku usaha yang memiliki utang atau kredit perbankan tidak dapat mengangsur sehingga harus mengajukan restrukturisasi atau penundaan cicilan. Namun, penundaan cicilan tersebut juga berisiko dimanfaatkan oknum-oknum “penumpang gelap” yang menginginkan restrukturisasi meskipun kegiatan usahanya tidak terdampak atau memiliki rekam jejak kredit macet alias debitur nakal.

Direktur BCA, Subur Tan menyatakan sejak awal pihaknya masih meraba-raba regulasi restrukturisasi melalui Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19. Dia mengkhawatirkan pada program restrukturisasi tersebut dimanfaatkan oknum-oknum yang melakukan moral hazard tersebut.

“Awalnya, kami meraba-raba ada gelombang besar restrukturisasi dan ada penumpang gelap. Sehingga, kami keluarkan tiga peraturan internal yang ditujukan benar-benar pada industri terdampak Covid-19 seperti perhotelan, pariwisata dan biro berjalan. Berjalan waktu, ternyata hampir semua bidang terdampak akhirnya pelaku usaha tidak langsung dan lansung terdampak Covid-19, akhirnya kami buat dua aturan lagi yang terkahir keluar pada Mei,” jelas Subur, Kamis (18/6).

Dia mengatakan program restrukturisasi merupakan hal wajar terjadi pada industri perbankan. Namun, pada saat pandemi Covid-19, pihaknya melakukan berbagai pelonggaran persyaratan bagi debitur terdampak. Dalam program restrukturisasi tersebut, pihaknya tetap menilai debitur dari sisi risiko dan bisnis. Sehingga, menurutnya, pasca-pandemi Covid-19 perbankan harus menjaga kemampuan membayar debitur yang telah direstrukturisasi tersebut.

Challenge perbankan setelah restrukturisasi apakah debitur itu benar-benar mampu menunaikan kewajibannya. Memang itu kesepakatan dengan debitur namun dengan keterbatasan interaksi dan data saat Covid-19 ini pengalaman baru bagi semua pihak baik bank dan debitur. Semua tidak mampu dan yakin kapan berakhir tidak tahu persis kapan selesai sekarang ini sudah masuki masa pelonggaran apakah dijamin tidak ada second wave,” jelas Subur.

Sementara itu, SVP Corporate Risk Bank Mandiri, Danis Subyantoro mengatakan pihaknya menghindari moral hazard atau penumpang gelap dalam program restrukturisasi tersebut. Dalam restrukturisasi tersebut, Bank Mandiri melakukan pelonggaran dalam penilaian kualitas debitur. Meskipun, pelonggaran tersebut tidak mengurangi pengawasan terhadap debitur.

“Relatif banyak debitur-debitur ajukan restrukturisasi. Sehingga, yang kami hindari agar tidak terjadi moral hazar, free rider.Prosedur setiap restrukturisasi saat normal itu harus libatkan bisnis sebagai narasumber, divisi risiko, dan aset manajemen. Saat covid-19, kami tidak melibatkan special asset karena debitur-debitur ini sebelumnya merupakan debitur performance bagus tapi karena covid turun performance sehingga restrukturisasi covid tidak libatkan special asset,” jelas Danis.

Tags:

Berita Terkait