Beda Putusan Seorang Arbiter dan Hakim
Kolom

Beda Putusan Seorang Arbiter dan Hakim

Perbedaan yang kentara dapat terlihat dengan jelas jika para pihak menyelesaikan sengketanya di pengadilan.

Bacaan 2 Menit
Eri Hertiawan. Foto: RES
Eri Hertiawan. Foto: RES

Pemilihan forum penyelesaian sengketa yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sektoral saat ini menjadi relevan untuk ditinjau kembali. Kondisi pandemi Covid-19 –yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 telah ditetapkan sebagai Bencana Nasional Non Alam– mungkin saja akan menjadi landasan hukum bagi pihak-pihak untuk berargumen bahwa peristiwa force majeure telah terjadi. Dengan demikian, kondisi dimaksud akan memberikan hak baginya untuk setidaknya menunda kewajiban kontraktualnya.

Dalam tulisan ini, penulis akan lebih fokus untuk menyampaikan pandangan secara ringkas, khususnya terkait dengan pilihan forum penyelesaian sengketa yang mungkin saja lebih relevan bagi salah satu pihak dalam konteks pengajuan suatu klaim, untuk diselesaikan melalui arbitrase atau pengadilan di Indonesia. (Baca: SIAC Respons Positif Perwakilan Indonesia di Lembaga Arbitrase Internasional)

Sebagaimana kita ketahui, banyak diskusi yang berkaitan dengan pertanyaan besar bahwa apakah penetapan status Bencana Nasional Non Alam tidak serta-merta memberikan hak bagi suatu pihak untuk menyatakan secara sepihak bahwa pihak tersebut akan dibebaskan dari tanggung jawab kontraktualnya. Tentunya para pihak dalam suatu kontrak haruslah meneliti kembali apakah pandemi telah disepakati oleh para pihak sebagai bagian dari keadaan memaksa atau overmacht atau force majeure. Jika memang telah disepakati dalam kontrak bahwa pandemi adalah salah satu bentuk keadaan memaksa, maka beralasan bagi pihak dimaksud untuk meminta kepada pihak lainnya agar dibebaskan atau setidaknya ditunda pelaksanaan kewajibannya menurut kontrak.

Dalam konteks permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, penulis merujuk kepada beberapa putusan Mahkamah Agung dan beberapa putusan Arbitrase, untuk mengetahui bagaimana lembaga peradilan atau arbitrase mempertimbangkan apakah alasan force majeure itu dapat digunakan atau tidak. Mengapa kita harus melihat preseden atau yurisprudensi dimaksud, karena bagaimanapun juga, jika upaya musyawarah mufakat untuk renegosiasi ketentuan kontrak gagal, maka akan berujung kepada sengketa hukum di mana para hakim atau arbiter yang akan memutus. Di sinilah pentingnya pembahasan mengenai forum penyelesaian sengketa yang mana yang lebih tepat untuk memeriksa dan memutus sengketa dimaksud.

Klausula Arbitrase dalam Kontrak dan Putusan Hakim berdasarkan ex aequo et bono

Penulis merujuk kepada adanya suatu klausula arbitrase dalam kontrak, di mana semua sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian harus dan akan diputus oleh majelis arbitrase. Biasanya dalam kontrak yang mengandung suatu klausula arbitrase, Penulis lebih banyak menemukan adanya suatu klausula arbitrase yang tegas-tegas mengesampingkan prinsip ex aequo et bono atau memutus berdasarkan keadilan dan kepatutan. Artinya, klausula arbitrase yang demikian hanya memberi hak kepada majelis arbitrase untuk memutus sengketa semata-mata berdasarkan apa yang disepakati para pihak dalam kontrak.

Pengecualian terhadap hal dimaksud adalah hanya jika putusan berdasarkan ex aequo et bono disepakati oleh semua pihak yang terikat dalam kontrak. Dengan kata lain, permohonan kepada majelis arbitrase untuk memutus berdasarkan prinsip ex aequo et bono hanya dapat dilakukan dengan adanya ketegasan dari para pihak, dan bukan hanya sekedar permintaan dari satu pihak saja,

Jika ketentuan kontrak tidak mengatur bahwa pandemi Covid-19 masuk dalam kategori force majeure, maka ada kemungkinan besar bahwa majelis arbitrase harus menggunakan “kacamata kontrak” untuk memutus hanya berdasarkan apa yg sudah disepakati dalam kontrak.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait