Bila Ragu, Majelis Boleh Vonis Bebas Penyerang Novel
Utama

Bila Ragu, Majelis Boleh Vonis Bebas Penyerang Novel

Majelis dituntut mencermati kasus ini secara mendalam mulai pembuktian unsur kesengajaan dalam dokrin hukum pidana, mengurai rasionalitas motif yang membentuk niat jahat pelaku, hingga ada tuduhan pelaku fiktif. Putusan ini menjadi pertaruhan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Tim jaksa dan salah satu terdakwa penyerang Novel Baswedan saat hendak menjalani sidang perdana di ruang sidang PN Jakarta Utara. Foto: RES
Tim jaksa dan salah satu terdakwa penyerang Novel Baswedan saat hendak menjalani sidang perdana di ruang sidang PN Jakarta Utara. Foto: RES

Sidang kasus penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan bakal diputuskan setelah terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut 1 tahun penjara dan telah mengajukan pembelaan (pledoi) dalam persidangan pekan lalu. Sejumlah pihak meminta Majelis Hakim - yang diketuai Djuyamto bersama Taufan Mandala dan Agus Darwanta sebagai anggota - harus mencermati kasus ini guna mencari kebenaran materil demi rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

“Majelis Hakim harus cermat. Kalau terdakwa mengaku-aku sebagai pelaku, kemudian hakim menghukum, maka terjadi peradilan sesat. Kalau hakim bisa membongkar dan terbukti, tapi dengan catatan motifnya apa?” ujar Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Mudzakir dalam webinar bertajuk “Eskalasi Hukum dan Sikap Publik Kasus Novel”, Jumat (19/6/2020). (Baca Juga: Komisi Kejaksaan Bakal Eksaminasi Tuntutan Kasus Novel, Tapi…)

Dia mengakui tuntutan rendah terhadap dua terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette memang mengusik rasa keadilan korban dan masyarakat. Karena itu, menjadi tantangan dan pertaruhan bagi majelis hakim untuk memutus perkara ini demi kepastian hukum yang adil. Mudzakir mengatakan sejatinya Majelis Hakim tak boleh ragu memutus perkara ini berdasarkan keyakinan dan alat bukti yang terungkap dalam persidangan.

Namun, menurutnya perbuatan terdakwa bisa saja tidak terbukti karena motif terdakwa (tidak sengaja dan hanya memberi pelajaran terhadap korban) menyiram air keras ke wajah Novel sulit diterima akal sehat. “Saya tak habis pikir, menyiram air keras ke mata Novel dianggap sebagai perbuatan yang tidak sengaja, sehingga jaksa hanya menuntut 1 tahun penjara.”  

Menurutnya, jaksa menggunakan doktrin yang tidak terdapat dalam hukum pidana, setelah dirinya kembali membuka berbagai literatur hukum pidana soal doktrin yang digunakan jaksa dalam kasus ini. “Ini doktrin dari mana, akibat penganiayaan yang ‘tidak sengaja’ kemudian bisa diperingan (tuntutannya, red)? Ini misteri doktrin yang dikembangkan jaksa (sendiri, red). Saya bertanya-tanya, beliau ini lulusan dari universitas mana supaya kami bisa evaluasi doktrin ini dari mana?”

Dia menerangkan motif sebagai pembentuk niat jahat seseorang, sehingga perlu ada pembuktian motif. Sebab, dari motif menggerakan pelaku untuk melakukan kejahatan. Kasus penyiraman air keras bila dipandang berdiri sendiri, maka tidak bunyi (berarti apa-apa). Namun ,bila dikaitkan serangkaian teror terhadap institusi KPK di era kepemimpinan Agus Rahardjo Dkk terkait penindakan perkara korupsi, motif ini pun harus dapat digali lebih mendalam.

“Namun, jika Majelis Hakim ragu-ragu dalam memutus, sama halnya keraguan jaksa untuk menuntut hukum berat terdakwa, bisa berujung Majelis berkeyakinan memutus bebas. Saya sarankan Majelis Hakim merekomendasikan kepada jaksa dan penyidik untuk mencari pelaku sebenarnya!”

Tags:

Berita Terkait