Melihat Dua Sisi Transplantasi Omnibus Law
Resensi

Melihat Dua Sisi Transplantasi Omnibus Law

Buku ini hadir tepat waktu, mengobati rasa penasaran publik tentang polemik RUU Cipta Kerja. Ada sisi positif dan sisi negatifnya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Melihat Dua Sisi Transplantasi Omnibus Law
Hukumonline

Daya tarik suatu buku tidak melulu bermula pada isinya. Bisa jadi, momentum penerbitan buku yang pas dapat menumbuhkan antusiasme pembaca. Penerbitan buku ‘Omnibus Law, Diskursus Pengadopsiannya ke dalam Sistem Perundang-Undangan Nasional’ salah satu contoh yang dapat disebut. Meskipun terbit pada momentum yang tidak biasa karena masa Covid-19, toh Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak sepenuhnya menghalangi orang untuk mendapatkan dan membaca buku ini.

Buku ini sebenarnya kompilasi 14 tulisan para peneliti Kolegium Jurist Institute. Para penulis menyajikan diskursus mengenai omnibus law sebagai metode transplantasi peraturan, teknis adopsi peraturan, akselarator pembangunan berkelanjutan, atau ‘metode sakti mengatasi kebuntutan praktik berhukum’. Diskursusnya berfokus pada bagaimana membawa konsep yang berasal dari sistem Common Law itu ke dalam sistem Civil Law tanpa melanggar filosofi dan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Instalasi metode ‘sapu jagat’ ke dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan bukan pekerjaan yang mudah.

Satu hal yang dapat digarisbawahi adalah omnibus law dipercaya sebagai metode baru, tetapi bukan tidak pernah digunakan. Misalnya, TAP MPR No. 1/MPR/2003 telah meninjau ulang seluruh Ketetapan MPR/MPRS periode 1960-2002; tak kurang dari 139 TAP yang ditinjau ulang. Ada pula UU No. 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang; dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (hal. 67).

Penggunaan metode ini disampaikan Presiden Joko Widodo saat pelantikannya untuk periode kedua, pada 20 Oktober 2019. Tujuannya untuk menyederhanakan regulasi dalam rangka memperkuat perekonomian nasional. Tetapi sebagai gagasan, omnibus law sudah muncul dalam tulisan Ahmad Redi, seorang akademisi, lima tahun sebelum diskursusnya mencuat seiring dengan pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja di Senayan (hal. 3) Diskursus mengenai omnibus law membuncah di ruang publik, dan melahirkan dua kutub perbedaan pandangan. 

Hukumonline.com

Di satu kutub, omnibus law dipandang sebagai obat manjur mengatasi problem obesitas regulasi, terutama dalam mengatasi hambatan-hambatan investasi. Pertimbangan ekonomi ini lantas mengemuka dan melahirkan pandangan bahwa metode omnibus law yang dipakai menyusun RUU Cipta Kerja –sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja—justru hanya membentangkan karpet merah kepada investor asing dalam arti mempermudah investasi (hal. 121). Tulisan Ahmad Redi dalam buku ini mencoba memberikan argumentasi menarik tentang watak omnibus law dan pentingnya metode omnibus law mengatasi sejumlah persoalan hukum. Di kutub lain, sebagaimana dibaca dalam beberapa tulisan, tergambar kekhawatiran atas dampak yang mungkin timbul jika metode omnibus law digunakan. Kekhawatiran yang sangat umum, omnibus law tidak sejalan dengan mekanisme yang telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (hal. 139-156).

Hal yang diakui oleh para penulis adalah omnibus law yang kini dipakai untuk menyusun RUU Cipta Kerja, dan Undang-undang lain yang sedang dipersiapkan akan membawa paradigma. Perubahan terjadi karena RUU Cipta Kerja mengubah sebagian materi muatan Undang-Undang, menghapuskan sejumlah pasal, dan membuat norma baru. Misalnya perubahan perizinan tata ruang (hal. 164-165), dan perizinan lingkungan hidup (hal. 185), dan perumahan dan kawasan pemukiman akibat penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (hal. 213-233).

Dua kutub yang saling bertentangan itu sebenarnya sesuatu yang biasa dan seharusnya ada dalam suatu diskursus. Demikian pula dalam diskursus omnibus law, konsep hukum dari Common Law yang belum banyak dikenal dan diajarkan dalam metode pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Dalam konteks inilah, buku terbitan RajaGrafindo Persada menarik untuk dibaca. Beberapa penulis tak sekadar memotret sisi positif atau sisi negatif penggunaan metode omnibus law, tetapi juga mengajukan solusi atas persoalan yang mungkin timbul. Tulisan Reza Fikri Febriansyah, misalnya, menyoroti pentingnya mitigasi risiko yang timbul dalam proses penyusunan RUU menggunakan omnibus law. Reza mengemukakan empat panduan melakukan sistem deteksi dini: pengetahuan yang baik, monitoring dan warning service oleh alat kelengkapan DPR yang bertugas bersama Pemerintah; diseminasi dan komunikasi yang baik; dan kemampuan dan kesediaan memberikan respons (hal. 98-100).

Dengan membaca buku ini, para pembaca dapat memahami bahwa omnibus law adalah metode yang praktis, efisien dan efektif untuk menyederhanakan regulasi. Jika metode ini hendak diterapkan secara masif ke depan, sudah pasti membutuhkan penyesuaian mekanisme pembentukan perundang-undangan. Dan, yang tidak boleh dilupakan adalah sistem hukum Pancasila. “Omnibus law harus seiring sejalan dengan nafas Pancasila,” begitu ditulis Eko Ibnu Hayyan (hal. 136).

Terlepas dari beberapa kesalahan klerikal, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Paling tidak, memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai omnibus law. Sebenarnya diskursus dalam buku ini semakin kaya jika ada pembahasan isu ketenagakerjaan, sebuah isu yang mendapat banyak sorotan; dan pembahasan implikasi penghapusan pasal-pasal UU Administrasi Pemerintahan. Bukankah terhambatnya investasi bukan semata-mata bersumber dari obesitas regulasi, tetapi juga birokrasi di lingkungan pemerintahan?

Selamat membaca…!

Tags:

Berita Terkait