Karut Marut Perlindungan Konsumen di Sektor Properti
Utama

Karut Marut Perlindungan Konsumen di Sektor Properti

Pengaduan konsumen terkait perumahan menjadi kasus paling tinggi diterima BPKN. Permasalahan terjadi sebelum pembayaran hingga pasca-transaksi.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Kebutuhan masyarakat terhadap hunian berbentuk rumah tapak dan apartemen semakin meningkat. Masyarakat dapat menempuh skema pembelian hunian tersebut secara tunai maupun kredit. Selain itu, terdapat juga berbagai tahapan yang harus dilalui konsumen hingga serah terima hunian tersebut. Terdapat berbagai aspek yang harus diperhatikan konsumen saat membeli hunian seperti legalitas lahan, pembiayaan hingga fasilitas-fasilitas lainnya seperti jaringan air dan listrik.

Sayangnya, permasalahan hukum konsumen pada sektor hunian masih sering terjadi. Persengketaan tidak hanya antara konsumen dengan pengembang tapi juga melibatkan pihak ketiga perbankan dan jasa keuangan non-bank. Berbagai kasus seperti hunian berada di atas lahan ilegal, hunian tidak sesuai rencana pembangunan, hingga ketidakpatuhan bank memberikan kredit perumahan merupakan bentuk-bentuk persoalan dalam pelanggaran hak konsumen properti.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan sektor perumahan merupakan jenis pengaduan paling banyak diterima dibandingkan sektor lain. Jumlah pengaduan konsumen sektor properti juga meningkat setiap tahun. BPKN mencatat terdapat 1371 pengaduan konsumen sektor perumahan pada 2019 atau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dengan 520 pengaduan.

“Grafiknya ini sangat mendominasi. Kalau kasusnya sama bisa dikelompokkan tapi ini beda-beda. Ada masalah legalitas, fasilitas umum dan sosial, spesifikasi bangunan, IPKL (iuran pengelolaan keamanan dan lingkungan) dan beragam kasus lainnya,” jelas Ketua Divisi Advokasi BPKN, Rizal E Halim, Rabu (24/6).

Rizal menjelaskan permasalahan konsumen sektor perumahaan terjadi dari hulu hingga hilir. Pada proses pra-pembangunan atau pra-transaksi insiden hak konsumen menyangkut ketidakjelasan status lahan rumah yang dijual pengembang dan pemasaran yang tidak sesuai aturan. Kemudian, pada proses pembangunan, insiden hak konsumen yang terjadi menyangkut lemahnya aspek perikatan jual beli antara pengembang, konsumen dan bank.

Pada pasca-transaksi, insiden hak konsumen menyangkut sengketa terkait kualitas unit rumah, perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan akta jual beli (AJB) tidak sesuai dan terkait konsumen rumah susun menghadapi ketidakjelasan hak ruang bersama, sistem, struktur dan pola pengelolaan, pembiayaan pengelolaan segala variannya. (Baca: Marak Penipuan Berkedok Properti Syariah, Begini Saran REI!)

Atas persoalan tersebut, Rizal mengatakan pihaknya berkoordinasi dengan berbagai instansi seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perdangangan serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia menyambut baik dengan diterbitkannya Peraturan Menteri PUPR Nomor 11/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Menurutnya aturan tersebut mengatur detil sistem pemasaran dan PPJB serta kewajiban pelaku usaha yang harus dipenuhi dalam pemasaran dan PPJB.

Tags:

Berita Terkait