Ahli: Pengesahan Revisi UU KPK Tidak Sah
Berita

Ahli: Pengesahan Revisi UU KPK Tidak Sah

Karena tidak memenuhi tata cara pembentukan UU.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sidang lanjutan uji formil UU KPK di ruang sidang MK, Rabu (24/6). Foto: RES
Sidang lanjutan uji formil UU KPK di ruang sidang MK, Rabu (24/6). Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang uji materi UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang kali ini mendengarkan ahli dari pemohon yakni Mantan Ketua MA Prof Bagir Manan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto.

Dalam keterangannya, Bagir Manan mengatakan UU KPK baru merupakan perubahan atau secara substansi dapat disebut pengganti UU KPK lama. Sebab, ada beberapa hal yang berubah dan berbeda dengan UU KPK sebelumnya. Dia mengatakan UU KPK hasil revisi, yang menurut catatan pemohon pengesahan antara persetujuan DPR dan Presiden tidak memenuhi kuorum karena tidak dihadiri sekurang-kurangnya 50 persen anggota DPR.

“Seandainya hal ini terbukti benar, pengesahan RUU KPK itu menjadi UU bukan sekedar cacat hukum, tapi juga tidak sah. Karena itu, batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” ujar Bagir Manan saat menjadi ahli pemohon di ruang sidang MK, Rabu (24/6/2020). (Baca Juga: Ahli Ini Minta Presiden Jelaskan Alasan Tak Tandatangani Revisi UU KPK)

Sementara Aan Eko Widiarto mengatakan pembentukan sebuah UU harus mengikuti beberapa tahapan yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Jika semua tahapan tersebut terpenuhi dan berkesesuaian, berarti telah memenuhi unsur pembentukan undang-undang atau dianggap konstitusional.

“Jika dilihat dari sisi pembentukan undang-undang, UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK tidak memenuhi unsur-unsur yang menyebabkan pembentukannya tidak sah,” kata Aan dalam persidangan.

Aan memaparkan dalam tahap perencanaan, sebuah undang-undang harus memenuhi unsur, diantaranya mengikuti prolegnas, dibahas secara bipartit oleh Presiden dan DPR, disetujui oleh alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi. Dia menilai rencana revisi UU KPK sudah masuk dalam RUU kumulatif terbuka sejak 2015 dan sempat tidak masuk dalam Prolegnas 2017-2018.

“Pada 2019 RUU KPK ini juga masuk dalam RUU kumulatif terbuka. Kumulatif terbuka yakni suatu RUU diperbolehkan masuk ke dalam prolegnas karena untuk menindaklanjuti penandatanganan perjanjian internasional, akibat putusan MK, dan lainnya,” terangnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait