Terbebani Pajak Terhutang Perseroan Pailit, UU KUP 'Digugat'
Berita

Terbebani Pajak Terhutang Perseroan Pailit, UU KUP 'Digugat'

Majelis meminta pemohon memperjelas kapasitas pemohon apakah sebagai perseorangan atau direktur.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Permohonan ini diajukan Taufik Surya Dharma yang merupakan mantan Pengurus PT United Coal Indonesia (PT UCI) yang sudah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2015 silam.

Kuasa Hukum Pemohon Heru Widodo mengatakan pemohon keberatan atas berlakunya Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terkait penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak karena usaha terhenti dan wakil bertanggung jawab secara pribadi. Kedua pasal ini telah dijadikan dasar oleh Kantor Pelayanan Pajak Besar Satu Jakarta Selatan (KPP Wajib Pajak Besar Satu) untuk melakukan penagihan pajak PT UCI yang dibebankan kepada Pemohon secara pribadi dengan jumlah yang sangat fantastis sebesar Rp193.625.721.483,00.

Hal ini terjadi hanya karena NPWP Badan atas nama PT UCI (dalam pailit) belum dihapus olehh Dirjen Pajak. Padahal, perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan seluruh boedel harta pailit telah dilakukan pemberesan oleh kurator.  

“Keberatan pemohon semakin beralasan, selain dibebani tagihan pajak atas perseroan yang sudah pailit, pemohon mendapat surat dari KPP Wajib Pajak Besar Satu yang isinya perintah untuk memberikan kuasa kepada Bank BCA Kuningan untuk memberitahukan saldo harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank atas nama Pemohon pada 26 Desember 2019,” kata Heru Widodo di ruang sidang MK, Selasa (23/6/2020).

Pasal 2 ayat (6) berbunyi: “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila: (1) diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; (2) Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha; (3) Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau (4) dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

Pasal 32 ayat (2) berbunyi, “Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terhutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut”.

Heru melanjutkan kasus ini berdampak harta pribadi pemohon terancam diambil paksa untuk melunasi hutang pajak perusahaan PT UCI. Padahal, saat pengurusan boedel pailit PT UCI, permohonan pembagian dari KPP Wajib Pajak Besar Satu telah dikabulkan oleh hakim pengawas dan utang pajak tersebut telah dibayarkan kurator yang besarnya sesuai penetapan hakim. 

Tags:

Berita Terkait