Kebutuhan Kode Etik Anggota Majelis Kehormatan Notaris
Foto

Kebutuhan Kode Etik Anggota Majelis Kehormatan Notaris

Pemerintah wajib membuat kode etik bagi anggota MKN yang memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dari pemanggilan notaris dalam perkara pidana.

Bacaan 2 Menit
Chandra Yusuf. Foto: Istimewa
Chandra Yusuf. Foto: Istimewa

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 16/PUU-XVIII/2020 hari senin tanggal 18 Mei 2020 dan hari jumat tanggal 19 Juni 2020 yang diucapkan pada hari selasa tanggal 23 Juni 2020, hakim MK tidak dapat menerima Pemohon I, III, IV dan V (Persatuan Jaksa Indonesia, dkk) karena tidak memiliki legal standing.

Hakim MK juga menolak Pemohon II (jaksa Olivia Sembiring) atas Judicial Review (JR), pasal  66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang  Nomor : 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN), yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. B. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.” Pemohon menghendaki pembatalan frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris”.

Pemohon mengajukan pembatalan frasanya karena pasal tersebut menekankan bahwa penyidik, jaksa dan hakim wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) untuk dapat mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.

Tentunya pemanggilan ini bertujuan untuk membuat jelas perkara pidana. Notaris tidak perlu merasa takut, apabila ia tidak melakukan tindakan yang mengarah pada kejahatan. Namun putusan MK tersebut menambah ketenangan hati para notaris, karena MKN dapat menjadi penyaring dari pemanggilan penyidik, jaksa dan hakim yang sebelumnya dapat dilakukan secara langsung.  

Dengan putusan MK tersebut, kekuasaan tertinggi untuk dapat mengklarifikasi minuta akta berada pada persetujuan MKN. Notaris dipanggil dalam rangka pemeriksaan suatu tindak kejahatan. Hal ini terkait dengan Notaris sebagai pejabat negara yang dapat menyimpangkan isi dan juga kesepakatan para pihak dalam suatu transaksi. Isi dituangkan diikuti dengan tandatangan asli di minuta akta. Karena putusan MK membuat penyidik, jaksa dan hakim tidak dapat memanggil notaris secara langsung.

Sebelumnya notaris dapat dipanggil dalam proses pemeriksaan di tahap penyidikan, penuntutan umum maupun pembuktian di persidangan. Penolakan MKN terhadap pemanggilan notaris dapat melindungi notaris dari pemanggilan yang sewenang-wenang. MKN wajib bertindak objektif dalam memberikan persetujuan atas pengambilan fotokopi minuta akta maupun pemanggilan notaris. Namun MKN juga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap notaris secara subjektif. Selama anggota MKN memiliki integritas tinggi dan dapat menjaga kepercayaan yang diberikan oleh negara, maka MKN dapat menjadi saringan yang efektif.

Kekosongan Hukum yang Belum Tertutupi

Permasalahannya timbul ketika notaris dalam membuat akta otentik melakukan kesalahan yang disengaja atau tidak disengaja. Apabila ia tidak memiliki niat untuk menyimpangkannya. Penyidik, jaksa dan hakim akan mengetahui informasinya dalam perjanjian yang dibuat. Sebaliknya notaris tidak pernah mengetahui apakah tandatangan yang tercantum dalam akta notaris adalah tandatangan asli yang mewakili para pihak atau bukan. Adapun minuta akta berdasarkan pasal 16 ayat (1) UU JN menyebutkan minuta akta adalah asli akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris.

Tags:

Berita Terkait