Membangun Ruang Jaga Demokrasi dalam Intervensi Kebijakan Publik
Kolom

Membangun Ruang Jaga Demokrasi dalam Intervensi Kebijakan Publik

Jalan untuk meluaskan kembali ruang yang kini sempit itu adalah dengan bersama jaringan, baik dalam birokrasi maupun sesama organisasi masyarakat sipil, untuk menegaskan ulang akan komitmennya pada demokratisasi dan negara hukum.

Bacaan 2 Menit
Gita Putri Damayana. Foto: RES
Gita Putri Damayana. Foto: RES

Ulang tahun sebuah organisasi biasanya membawa kita ke momentum reflektif; menengok ke belakang, memandang ke sekitar dan menerawang jauh ke depan. Kita membayangkan apa yang seharusnya terjadi. Kita menyesalkan serta menertawakan apa yang pernah terjadi. Kita berharap pada apa yang mungkin terjadi.

Tahun ini, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berusia 22 tahun. Ibarat manusia, dirinya belum lama lulus kuliah, sedang mulai menjelajah dunia kerja dan masih gelisah mencari bentuk. Sebagai organisasi masyarakat sipil menapaki usia 22 tahun, soal kegelisahan mencari bentuk merupakan isu yang sudah selesai. Namun apakah hal itu berarti situasinya status quo? Bagi organisasi dengan mandat riset dan studi dalam kerangka reformasi hukum, kegelisahan merupakan sesuatu yang harus dirawat dan tumbuh-kembangkan.

Apabila kita menengok ke belakang, justru kegelisahaan dari beberapa profesional hukum-lah yang melahirkan PSHK. Kegelisahan tersebutlah yang di kemudian hari mewarnai model serta corak intervensi dan pengembangan jaringan di sektor hukum yang dilakukan PSHK. Kita bisa mengidentifikasi model intervensi dan pengembangan jaringan PSHK sejak awal pendiriannya.

Model intervensi yang pertama adalah dengan melakukan pendekatan atau lobi pada pengambil keputusan; baik dalam ranah peradilan maupun legislasi atau kebijakan hukum lainnya. Hal ini pertama kali dilakukan pada sidang istimewa MPR 1999 ketika para peneliti PSHK menulis mengenai perkembangan ketatanegaraan pada hari-hari pikuk tersebut dan menyebarkan tulisannya ke para anggota DPR/MPR yang bersidang. Semua ini terjadi saat Hamid Chalid menjabat direktur eksekutif PSHK pada tahun 1998-2001.

Model intervensi yang kedua adalah kerjasama dengan pengambil keputusan utama dalam pembentukan kebijakan hukum, yaitu Mahkamah Agung. Aria Suyudi adalah direktur eksekutif PSHK dari 2007-2009 yang sejak awal merintis pola dukungan PSHK untuk kerja-kerja Mahkamah Agung dalam bentuk riset dan studi. Model kerja sama ini kemudian berkembang untuk lembaga negara lain seperti Mahkamah Agung dan di kemudian hari, Bappenas serta KPK. Metode kerja sama ini juga berlanjut dalam program reformasi regulasi yang digagas M. Nur Sholikin bersama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), direktur eksekutif PSHK dari 2015-2019. Pengembangan jaringan ke lembaga donor pembangunan seperti USAID dan DFAT (dahulu AusAid) serta The Asia Foundation untuk memperluas jangkauan hasil studi PSHK mulai menemukan bentuknya pada masa Ibrahim S. Assegaf menjabat sebagai direktur eksekutif pada 2001-2003.

Sementara pengembangan jaringan dengan sesama elemen masyarakat sipil mencapai momentumnya sejak keterlibatan PSHK dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Amandemen Konstitusi sejak 1999; inisiatif yang dimulai oleh Bivitri Susanti sejak menjadi peneliti PSHK hingga dirinya menjadi direktur eksekutif dari 2003 hingga 2007. Model pengembangan jaringan dan intervensi ini kemudian dikombinasikan pada masa Eryanto Nugroho menjabat sebagai direktur eksekutif sejak 2009-2015 dalam bentuk pengelolaan pengetahuan yang kemudian berbuah menjadi pendirian Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Kombinasinya adalah pada penggabungan inisiatif untuk mengintervensi pendidikan tinggi hukum dengan mendirikan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera. Dalam perjalanannya, model intervensi kebijakan ikut memperluas jaringan individu di birokrasi yang memiliki ide dan gagasan progresif sehingga memperkaya agenda reformasi hukum yang dilakukan PSHK.

Menjaga Ruang Intervensi Publik Tetap Kritis

Meski menyinggung pada pola intervensi dan pengembangan jaringan yang pernah dilakukan PSHK, tapi tulisan ini bukan bermaksud membawa pembacanya untuk berefleksi pada masa lalu. Toh, hampir semua organisasi masyarakat sipil, baik yang memiliki agenda advokasi ataupun yang tidak, nyaris sudah melakukan intervensinya pada kebijakan sektornya masing-masing. Yang perlu diingat adalah situasi kita sekarang bersumber dari praktik bernegara yang berlanjut kegentingan demokrasi kita pada masa Orde Baru melahirkan ketimpangan, ketidakadilan serta kemiskinan. Hal-hal inilah yang coba dijawab dengan lahirnya berbagai organisasi masyarakat sipil pasca Orde Baru. Perkembangannya kini setelah jatuhnya Orde Baru 22 tahun lalu adalah justru timbul kekhawatiran akan pupusnya relevansi organisasi masyarakat sipil; yang bisa dilihat semakin menciutnya ruang bagi mereka; sebuah istilah yang acap disebut sebagai shrinking civic space oleh Lokataru.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait