​​​​​​​Menjembatani Pembaruan: Hukumonline 20 Tahun
Tajuk

​​​​​​​Menjembatani Pembaruan: Hukumonline 20 Tahun

​​​​​​​Terima kasih dan penghargaan kami yang setinggi-tingginya atas dukungan Anda semua kepada kami di Hukumonline selama 20 tahun terakhir yang membanggakan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Dalam perjalanan sejarah hukum di Indonesia, sedikitnya ada beberapa "bagian bangunan" penting yang menjadikan kita berada pada kondisi hukum sekarang ini. Hukum di sini dimaknai sebagai bagaimana sistem dan aturan hukum dibentuk dan diterapkan. Kemudian bagaimana lembaga-lembaga yudisial dapat berfungsi dan dikelola dengan baik. Selanjutnya bagaimana lembaga-lembaga, orang-orang atau profesi-profesi yang terkait dengan pembentukan dan penerapan hukum dididik, direkrut dan diharapkan efektif bekerja. Dan tentu akhirnya bagaimana hukum bisa mencapai tujuannya, yaitu memberikan kepastian, ketertiban, kedamaian dan keadilan bagi seluruh anggota masyarakatnya.

Beberapa bagian bangunan penting dari "rumah hukum Indonesia" yang saya maksud adalah para juris, birokrat, penegak hukum, kalangan parlemen, aktivis atau organisasi masyarakat sipil, dan dunia pendidikan hukum. Masing-masing, dengan bobot kontribusinya, dan pada waktu-waktunya, memberi kontribusi besar dalam pembentukan hukum dengan pemaknaan tadi.

Sejarah mencatat bahwa para juris Indonesia mempunyai peran besar dalam menyiapkan kemerdekaan Indonesia. Mereka umumnya adalah alumni sekolah-sekolah hukum di Belanda dan Jakarta. Dalam dua dekade setelah kemerdekaan, para juris tetap berperan di dalam pemerintahan, lembaga negara dan profesi advokat, ikut dalam membangun sistem hukum yang bertransisi dari hukum kolonial ke "Hukum Republik". Pada awal 1980-an, Almarhum Daniel S Lev, "guru dan senior dekat" saya, banyak bercerita tentang para advokat Indonesia yang beraktivitas pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, dan yang sangat peduli tentang bukan saja bagaimana mereka ikut menegakkan hukum melalui pembelaan terhadap perkara-perkara perdata, pidana, termasuk pidana politik di pengadilan, tetapi juga bagaimana mereka ikut dalam menegakkan praktik hukum yang bersih dengan fokus pada pembelaan hak-hak rakyat kecil. Kelak, konsep ini berkembang menjadi suatu gerakan bantuan hukum struktural yang dinahkodai oleh para pembela di (Yayasan) Lembaga Bantuan Hukum.

Dan Lev juga menceritakan bahwa para advokat zaman itu gemar menulis dan memperdebatkan ide-ide dan masalah-masalah hukum dalam sejumlah jurnal, termasuk dalam Hukum dan Keadilan, yang diterbitkan oleh organisasi advokat PERADIN, salah satu organisasi advokat pertama di Indonesia yang berdiri pada tahun 1964. Cerita-cerita menarik selanjutnya tentang sepak terjang para advokat masa itu saya dengar dari Almarhum Pak Yap (Yap Thiam Hien) dalam obrolan kami di rumahnya di Grogol, termasuk cerita seram pada waktu para advokat PERADIN ditunjuk untuk membela para terdakwa tokoh PKI atau yang terafiliasi dengan PKI di hadapan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) di tengah suasana represi militer, dan masa-masa di mana para advokat dan aktivis yang bersuara keras seperti pak Yap, Almarhum Adnan Buyung Nasution, dan Marsillam Simandjuntak dicoba dibungkam oleh rezim Suharto dengan dijebloskan ke penjara.

Ketika para juris muda (Ahmad Fikri Assegaf, Chandra Hamzah, Haris M Rum, Hamid Chalid, Ibrahim Assegaf dan lain-lain) mengajak saya untuk membentuk Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), bersama dengan para peneliti hukum muda, diawali oleh Bivitri Susanti dan Arya Suyudi, serta kemudian Rival Ahmad dan lain-lain pada saat-saat genting kejatuhan Orde Baru tahun 1998, tradisi untuk meneliti dan menulis masalah-masalah hukum yang terkait dengan konstitusi, undang-undang, dan kebijakan hukum lainnya yang terkait dengan masalah kenegaraan, demokrasi, hak asasi manusia, bisnis bersih yang tidak diselimuti oleh KKN, persaingan yang sehat, lingkungan hidup, kesetaraan gender dan perlindungan untuk mereka yang terlupakan, menjadi timbul kembali, meneruskan tradisi menulis para juris di awal kemerdekaan dan para penerusnya, sampai mereka dibungkam oleh rezim Orde Baru.

Dan Lev "menemani" kami semua dalam diskusi-diskusi hangat di PSHK sejak di Gondangdia sampai "gas chamber" (smoking room) Puri Imperium dalam pengembangan ide-ide menarik yang menjadi fokus penelitian dan diskusi PSHK pada waktu itu. Penelitian PSHK, dengan kerja sama Masyarakat Transparansi Indonesia, mengenai Keppres Suharto yang melanggar prinsip-prinsip legaslasi yang baik (dan berpotensi koruptif), menjadi salah satu tonggak penelitian hukum progresif di Indonesia yang menekankan tanggung jawab sosial dari proses legislasi dan pelaksanaan peraturan perundangan. Penelitian tersebut bukan saja baik secara teori hukum, tetapi juga menjadi landasan praktis bagi pemerintah selanjutnya untuk melakukan reformasi hukum besar-besaran. Terbukti, suatu penelitian hukum yang baik ternyata bisa menjadi suatu alat untuk melakukan perubahan penting dari perjalanan suatu bangsa.    

Praktik independen para advokat Indonesia antara tahun 1950-an sampai dengan tahun 1970 masih menggunakan cara-cara konvesional dengan praktik solo, di mana ada satu orang pendiri, kemudian dengan dibantu oleh beberapa asisten advokat. Dasar-dasar praktik hukum firma modern kemudian berkembang sejak diterapkannya sistem perekonomian yang lebih terbuka, ketika Presiden Sukarno, di bawah tekanan para ekonom Orde Baru, memberlakukan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1970. Penanaman modal asing bukan hal baru di Indonesia waktu itu, karena banyak perusahaan asing yang beroperasi di tanah air sebelum kemerdekaan Indonesia maupun semasa Orde Lama berkuasa. Perusahaan minyak Caltex, Stanvac, Shell dan lain-lain adalah beberapa di antaranya. Juga produsen ban seperti Goodyear dan produsen sepatu Bata sudah lama beroperasi di Indonesia sebelum diundangkannya Undang-undang PMA tahun 1970. UU PMA 1970 secara terstruktur memberi jalan masuk lebih besar kepada investor asing tingkat menengah dan besar, yang dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di zaman Orde Baru mengalami stagnasi, inflasi tinggi dan nilai mata uang yang lemah. Ketika perusahaan-perusahaan asing itu masuk ke Indonesia, mereka membutuhkan jasa hukum dari para advokat dan konsultan hukum Indonesia yang mampu menjembatani mereka untuk memahami regulasi Indonesia yang masih sangat terbatas untuk menunjang kegiatan investasi di bidang produksi dan pemberian jasa. Firma hukum yang menjadi pelopor pada periode ini adalah firma hukum ABNR (Ali Budiardjo, Nugroho dan Reksodiputro) dan MKK (Mochtar Komar Karuwin) serta juga beberapa kantor hukum lain seperti Delma Juzar, Lukman Hanafiah, dan ABNA (Adnan Buyung Nasution & Associates). Sementara itu para advokat senior lainnya seperti Pak Yap, Mr Tjiam Djoe Kiam, Lukman Wiriadinata, Haryono Tjitrosubono, Sukardjo, Minang Warman, dan banyak lagi di luar Jakarta, masih setia berpraktik secara solo atau dengan sedikit sekutu dengan fokus lebih kepada praktik litigasi dengan cara-cara konvensional.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait