​​​​​​​Rekonstruksi Makna Kerugian dan Hasil Audit Sebagai Alasan PHK Oleh: Juanda Pangaribuan*)
Kolom

​​​​​​​Rekonstruksi Makna Kerugian dan Hasil Audit Sebagai Alasan PHK Oleh: Juanda Pangaribuan*)

​​​​​​​Khususnya bagi perusahaan korban bencana Covid-19.

Bacaan 2 Menit
​​​​​​​Rekonstruksi Makna Kerugian dan Hasil Audit Sebagai Alasan PHK Oleh: Juanda Pangaribuan*)
Hukumonline

Pandemi covid-19 mewarnai hubungan kerja maupun hubungan industrial. Selain menghimpit laju bisnis perusahaan, pandemi covid-19 juga menghimpit pekerja. Melihat perkembangannya, pekerja yang di PHK dan dirumahkan jumlahnya terus bertambah. Sebagai puncaknya, ketegangan segi tiga pun terjadi antara pekerja, pengusaha dan pemerintah.

Kondisi di atas merupakan embrio dari konflik perburuhan. Melihat problematika hubungan kerja maupun hubungan industrial yang diakibatkan oleh pandemi covid-19, pada era new mormal, gugatan perselisihan hubungan industrial akan marak dengan dominasi gugatan perselisihan hak dan perselisihan PHK.

Gugatan perselisihan upah dan pembayaran THR akan muncul karena salah satu dari empat hal berikut ini: (1) pengusaha tidak membayar upah selama dirumahkan; (2) upah pekerja dipotong selama dirumahkan; (3) pengusaha tidak membayar tunjangan selama pekerja dirumahkan; (4) THR belum dibayar lunas.

Peluang perselisihan PHK muncul ketika cash flow perusahaan terganggu akibat Covid-19. Untuk mempercepat pelaksanaan PHK perusahaan bisa menggunakan formula gentlement agreement. Kalau langkah itu gagal, perusahaan berpeluang menerapkan Pasal 164 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Apabila perusahaan mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19 dengan disertai keinginan melakukan PHK, pengusaha bisa memilih salah satu alasan berikut ini: (1) perusahaan mengalami kerugian; (2) keadaan memaksa (force majeure); (3) perusahan melakukan efisiensi.  

Pandemi Covid-19 memberi peluang PHK tidak hanya kepada pengusaha. Kalau merujuk pada UUK, sebagai bagian dari dampak Covid-19, pekerja dapat menginisiasi pengakhiran hubungan kerja. Peluang itu muncul ketika pengusaha tidak membayar gaji selama dirumahkan. Oleh karena itu, pengusaha yang tidak berniat melakukan PHK, dapat membuat kesepakatan tertulis dengan pekerja. Kesepakatan itu dapat menghalangi penerapan Pasal 169 ayat (1) UUK. Apabila pengusaha tidak membayar upah selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, Pasal 169 ayat (1) huruf c memberi hak kepada pekerja mengajukan permohonan PHK. Kalau pengadilan hubungan industrial (PHI) mengabulkan permohonan itu, pengusaha wajib membayar pesangon sebesar 2 kali Pasal 156 ayat (2) UUK.  

Pemerintah Kendalikan Penyelesaian Perselisihan

Pada era new normal, pemerintah memegang kendali menyelesaikan perselisihan perburuhan. Menghadapi perselisihan perburuhan akibat pandemi Covid-19, pemerintah bisa menggunakan fungsinya sebagai regulator, mediator dan pengawas norma. Kalau melihat karakteristik perselisihan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, peranan mediator sebaiknya lebih dioptimalkan.  

Pandemi covid-19 meretas dampak yang semakin luas. Perusahaan yang melakukan PHK jumlahnya pun terus bertambah. PHK yang semakin marak menunjukkan perusahaan yang terganggu akibat covid-19 jumlahnya tidak sedikit. Menghadapi hal itu pemerintah tampaknya tidak berdaya mencegah PHK. Himbauan pemerintah kepada pengusaha supaya tidak melakukan PHK sifatnya ajakan moral sehingga tidak memiliki daya paksa. Singkatnya, himbauan pemerintah tersebut bukan larangan PHK. Menyikapi dampak dari pandemi covid-19, Pengusaha berhak melakukan PHK. Himbauan pemerintah tersebut mengikat khusus bagi perusahaan korban pandemi covid-19 yang mendapat bantuan modal dari pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait