Mengurai Benang Kusut Fenomena Koperasi Gagal Bayar
Berita

Mengurai Benang Kusut Fenomena Koperasi Gagal Bayar

Penertiban koperasi tidak berizin atau ilegal harus tegas dilakukan untuk menghindari kerugian masyarakat.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Rentetan kasus koperasi gagal bayar semakin panjang terjadi pada industri perkoperasian nasional. Parahnya, gagal bayar tersebut bukan hanya karena kesalahan bisnis melainkan diduga terdapat unsur penipuan hingga ribuan nasabah atau anggota dengan nilai kerugian bisa mencapai triliunan rupiah. Nama-nama koperasi tersebut dengan mudah dapat ditemukan di dunia maya.

Maraknya persoalan tersebut, menjadi latar belakang Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Kemenkop UMKM) menghentikan sementara atau moratorium pemberian izin koperasi simpan pinjam melalui Surat Edaran (SE) Nomor 26 Tahun 2020 tentang Moratorium Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi. Moratorium ini berlaku selama tiga bulan sejak SE tersebut ditandatangani pada 29 Mei 2020. 

Pengamat perkoperasian danKetua Umum Asosiasi Kader Ekonomi Sosio-Strategis, Suroto mengatakan maraknya koperasi gagal bayar itu sebetulnya disumbang oleh persoalan mendasar bersifat paradigmatik atau pemahaman, regulasi hingga kebijakan. Secara paradigma, karena hakikat koperasi tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat. Sehingga masyarakat terkecoh oleh munculnya koperasi-koperasi palsu atau quasi.

Menurutnya, masyarakat pada umumnya tidak mengetahui bahwa menjadi anggota itu sama dengan menjadi pemilik dan pengendali perusahaan yang mereka percayakan investasinya. “Masyarakat juga mudah diiming-imingi oleh keuntungan atau return yang tinggi dari orang-orang yang ingin sengaja menipu masyarakat dengan memanfaatkan koperasi,” jelas Suroto, Selasa (14/7).

Secara regulasi, Suroto mengatakan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dianggap ahli hukum internasional terburuk di dunia. Hal ini karena perundang-undangan tersebut bersifat tidak imperatif. Dia menilai sanksi yang diatur dalam UU tersebut masih belum jelas. (Baca: Sudah Tepatkah Moratorium Izin Koperasi Simpan Pinjam?)

“Sanksinya tidak jelas dan hanya jadi semacam macan kertas. Ini biasa di negara negara berkembang seperti halnya Indonesia, karena undang-undang itu biasanya dibentuk sebagai bentuk kongkalikong elit kaya dan elit politik. Akibatnya kepentingan publik, rasa aman berinvestasi di koperasi oleh masyarakat diabaikan. Banyak koperasi koperasi seperti itu yang diglorifikasi oleh pemerintah sebelum kolaps. Dibanggakan bahkan diberikan penghargaan dan mereka cuci tangan ketika muncul masalah,” tambah Suroto.

Dia juga menilai kebijakan pemerintah untuk menciptakan koperasi yang kuat juga belum serius. Dia mencontohkan lambannya pembentukkan Lembaga Penjaminan Simpanan  Koperasi yang seharusnya juga dimiliki seperti halnya perbankkan swasta kapitalis. Hal ini menyebabkan manajamen koperasi untuk menarik perhatian masyarakat berinvestasi musti memberikan return yang menanggung biaya sumber dana atau cost of fund tinggi.

Tags:

Berita Terkait