Menelisik Landasan Hukum Persidangan Perkara Pidana Secara Daring
Kolom

Menelisik Landasan Hukum Persidangan Perkara Pidana Secara Daring

Idealnya pengaturan proses persidangan secara daring tak cukup hanya melalui perjanjian kerjasama, surat edaran institusi maupun Peraturan Mahkamah Agung. Namun dituangkan dalam KUHAP yang bakal direvisi.

Bacaan 2 Menit
Menelisik Landasan Hukum Persidangan Perkara Pidana Secara Daring
Hukumonline

‘Cengkraman’ wabah virus corona dalam beberapa bulan terakhir berdampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan. Penegakan hukum pun terdampak. Khususnya dalam melaksanakan hukum acara pidana. Sejumlah penegak hukum pun berupaya mencari jalan keluar dalam mengatasi keterbatasan penegakan hukum dan berpekara pidana agar terhindar dari penularan Covid-19.

Melalui sepucuk surat bernomor  M.HH.PK.01.01.04 tanggal 24 Maret 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), menerbitkan kebijakan berupa penundaan sementara pengiriman tahanan ke rumah tahanan (Rutan)/lembaga pemasyarakatan (Lapas) di  lingkungan Kemenkumham sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid 19.

Gayung bersambut. Kejaksaan Agung pun membuat hal serupa. Melalui Surat Nomor B-049/A/SUJA/03/2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di tengah Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19, tertanggal 27 Maret 2020 membuat kebijakan serupa. Sama halnya dengan Kemenkumham dan Kejaksaan Agung,  Mahkamah Agung  menerbitkan Surat No. 379/DJU/PS.00/3/2020 perihal Persidangan Perkara Secara Teleconference.

Ketiga institusi penegak hukum itu,  akhirnya menjalin kerjasama yang dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Nomor: 402/DJU/HM.01.1/4/2020, Nomor:KEP-17/E/Ejp/04/2020, Nomor: PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tanggal 13 April 2020 Tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference. Namun menjadi soal, apakah UU No.8/1981 tentang KUHAP telah mengatur tentang Hukum Acara persidangan secara daring? Kemudian apakah landasan hukum Perjanjian Kerjasama ketiga instansi tersebut cukup?

Proses persidangan perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia dilakukan melalui tatap muka hakim, jaksa, terdakwa, dan penasihat hukum di dalam ruang sidang pengadilan. Kehadiran secara fisik terdakwa dan saksi di ruang sidang pengadilan diatur dalam Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP. Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Sedangkan Pasal 189 ayat 1 KUHAP menyebutkan, “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.

Nah, bila menelisik Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, setiap keterangan saksi maupun terdakwa harus dinyatakan di depan persidangan. Namun  dalam kasus Bulog Gate 2002 dengan terdakwa mantan Kabulog misalnya, pemeriksaan saksi Prof BJ.Habibie tidak dilakukan di depan sidang pengadilan. Melainkan secara fisik berada di Jerman dan keterangannya disampaikan melalui teleconference.

Rupanya, KUHAP memberikan pengecualian dalam Pasal 162 ayat (1) yang membolehkan penyampaian keterangan saksi tanpa harus dilakukan di hadapan persidangan. Yakni, “Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait