Pandemi Menanam Ekonomi
Kolom

Pandemi Menanam Ekonomi

Sebagaimana ekonomi, hukum pun kerap mengalami ketercerabutan.

Bacaan 2 Menit
Pandemi Menanam Ekonomi
Hukumonline

Ada yang ganjil dalam berita-berita ekonomi beberapa bulan ini. Rubrik-rubrik ekonomi & bisnis, yang biasanya bertaburan dengan angka-angka IHSG, kurs rupiah, PDB, pertumbuhan ekonomi, investasi, dan sebagainya, tiba-tiba mewartakan lonjakan kemiskinan, PHK, penyaluran bantuan sosial, atau sinergi tingkat RT membantu warganya yang terdampak pandemi Covid-19.

Gejala itu suatu cermin: selama ini, ekonomi telah tercerabut dari makna asalinya. Apa yang dewasa ini disebut “ekonomi” kerap kali tak ada sangkut-pautnya dengan, misalnya, bagaimana seorang petani menggarap sawah untuk mencari nafkah. Ekonomi telah menjelma menjadi sosok makhluk yang asing, angka-angka yang dingin, kalkulus rumit yang hanya dimengerti oleh segelintir ahli.

Sejarawan ekonomi Karl Polanyi menyebutnya “ekonomi yang tercerabut” (disembedded economy). Pertanyaan spontan: tercerabut dari apa? Kata Polanyi dalam The Great Transformation, “Ekonomi tak lagi tertanam dalam relasi-relasi sosial, tetapi relasi-relasi sosial tertanam dalam sistem ekonomi.” Demikianlah, menurut Polanyi, ekonomi telah tercerabut dari relasi-relasi sosial.

Tercerabutnya ekonomi dari relasi sosial itu punya sejarah panjang sejak Adam Smith. Hal itu tak sulit dimengerti, bila kita bersedia berhenti sejenak dari kesibukan-kesibukan rutin ekonomi dan sedikit menengok sejarahnya. Dalam semangat revolusi intelektual abad ke-18, ilmu ekonomi lahir sebagai semacam ‘sempalan tak sengaja’ dari filsafat moral.

Sejak itulah ekonomi pelan-pelan menemukan kemandiriannya sebagai ilmu: ia menjelma menjadi kuantifikasi atas gejala sosial. Salah satu kunci untuk memahami proses itu adalah munculnya sistem pasar dan komodifikasi: supaya dapat dihitung dan masuk dalam sistem pasar, segala sesuatu—termasuk yang sesungguhnya ‘tak berharga’ alias ‘gratis’ (misal, udara) sampai yang ‘terlalu berharga’ (misal, persahabatan)—wajib dilabeli dengan angka harga. Proses itu sudah tentu melibatkan masalah moral serius. Tetapi ekonomi, yang kini telah mandiri sebagai ilmu, wajib menangguhkannya karena masalah moral tak lagi masuk dalam wilayah kerjanya.

Setelah lebih dari dua abad berlalu, terpisahnya analisis ekonomi dan filsafat moral itu mewariskan masalah baru, misalnya tentang status ilmu ekonomi, apakah ia ilmu positif atau ilmu normatif. Hingga kini, perdebatan para ahli tentang masalah itu masih terus berlangsung.

Pandemi mengubah segalanya. Ekonomi tak terkecuali. Hanya dalam hitungan bulan, ekonomi seakan-akan dipaksa merenungkan kembali fitrahnya, sebagaimana tercermin dalam etimologinya: oikos-nomos (Yunani: pengelolaan rumah tangga)—atau dalam rumusan Polanyi, “organisasi mata-pencaharian manusia [livelihood of man].”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait