Permohonan Kepailitan dan PKPU Masih Tinggi, POJK 11/2020 Dinilai Belum Maksimal
Utama

Permohonan Kepailitan dan PKPU Masih Tinggi, POJK 11/2020 Dinilai Belum Maksimal

Lembaga keuangan mengalami kesulitan menyalurkan pembiayaan, terutama untuk kebutuhan restrukturisasi ataupun penyediaan dana baru untuk debitor gagal bayar.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Webinar Hukumonline dengan tema Mengantisipasi Tuntutan dan Sengketa Kepailitan serta PKPU dalam Situasi Terkini. Foto: RES
Webinar Hukumonline dengan tema Mengantisipasi Tuntutan dan Sengketa Kepailitan serta PKPU dalam Situasi Terkini. Foto: RES

Penyebaran pandemi Covid-19 hingga kini belum dapat diprediksi kapan berkahir. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan terjadinya lonjakan kasus gagal bayar utang oleh debitor sebagai akibat terhambat atau berhentinya kegiatan operasional perusahaan pada sektor-sektor tertentu.

Dalam situsi ini, jika kreditor melakukan tuntutan pembayaran utang kepada debitor dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka peran kurator dan pengurus dalam penanganan kepailitan dan PKPU menjadi sangat penting. Data dari lima wilayah Pengadilan Niaga di Indonesia, per 6 Juli 2020 sudah ada 299 perkara kepailitan dan PKPU. Jika dibandingkan dengan  2019, per Desember ada 560 perkara.

Pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical DampakPenyebaran Covid-19. Menurut Partner pada Kantor Hukum Arkananta Vennootschap, Alfin Sulaiman, masih terdapat dinamika dalam penerapan POJK tesebut terhadap kasus-kasus gagal bayar oleh debitor.

“Pemberlakuan POJK ini tidak sepenuhnya lacar karena dalam kondisi seperti sekarang lembaga keuangan mengalami tekanan likuiditas,” ujar Alfin dalam webinar hukumonline, Rabu (15/7). (Baca: Lawyer Harus Mampu Beradaptasi dengan Teknologi Agar Bisa Survive)

Menurut Alfin, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dengan adanya pandemi Covid-19, kondisi industri keuangan mengalami pelambatan likuiditas. Hal ini pada akhirnya berdampak pada lembaga keuangan mengalami kesulitan untuk menyalurkan pembiayaan, terutama untuk kebutuhan restrukturisasi ataupun penyediaan dana baru untuk debitor gagal bayar.

“Inilah dilema walaupun pemerintah memberikan sejumlah stimulus kepada Bank untuk menjaga likuiditas tapi memang saya mau sampaikan POJK ini belum berjalan mulus,” ungkap Alfin.

Di sisi yang lain, dalam pengamatannya Alfin menilai terdapat debitor yang dalam situasi gagal bayar, menyampaikan permohonan restrukturisasi utang dan telah dikabulkan oleh Bank, namun dalam prosesnya masih juga terhambat memenuhi sejumlah kewaiban-kewajiban yang telah direlaksasi. Hal ini menurut Alfin menjadi penyebab POJK 11/2020 belum mampu secara maksmal menstimulus pelaku usaha.

Tags:

Berita Terkait