​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)
Kolom

​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)

​​​​​​​‘Kewarasan’ baru dibutuhkan demi memproteksi demokrasi dari manuver berbahaya para pemimpin politik.

Bacaan 2 Menit
​​​​​​​Tatanan New Normal dan Kewarasan Baru Berdemokrasi Oleh: Fajar Laksono Suroso*)
Hukumonline

Tatanan kenormalan baru atau ‘new normaldimulai. Krisis medis telah mencetuskan transformasi dari peradaban lama ke peradaban anyar. Dalam transformasi ini, tatanan ‘new normal’ tak seharusnya dimonopoli ke dalam makna sempit: hidup damai bersama virus Covid-19 dengan protokol kesehatan. Sebab, ‘new normal’ memiliki spektrum luas dengan konsekuensi logis yang kompleks pada semua segi kehidupan. Hal itu menunjukkan, virus telah berhasil memaksa kita merangkul dan mengadaptasi kelaziman baru, termasuk dalam perspektif kita berdemokrasi. Jadi, penting meresapi ‘new normal’ ini sebagai medium refleksi dan momentum memperbarui cara pikir dan pola tindak kita dalam berdemokrasi.

New Normal dari Spektrum Demokrasi

Bagaimana ‘new normal’ dilihat dari spektrum demokrasi? Pertama, hakikat bernegara adalah berkonstitusi. Dalam bernegara, kita diikat secara penuh oleh UUD 1945 (hasil perubahan). Sebagai hukum dasar dan tertinggi, UUD 1945 memuat ide-ide dasar menyangkut cita-cita, visi, dan tujuan pendirian negara Indonesia. Arief Hidayat (2017) menyebut, ada tiga ide besar dan mendasar yang mengkonstruksi UUD 1945, yaitu: (1) demokrasi; (2) nomokrasi; dan (3) teokrasi. Demokrasinya permusyawaratan. Nomokrasinya prismatis, antara rechtstaats dan the rule of law dengan orientasi membahagiakan rakyat. Teokrasinya mematri nilai ketuhanan sebagai landasan spiritualitas, moralitas, dan etika bernegara.

Kedua, betapapun secara substansi dikatakan masih mengandung kelemahan, UUD 1945 merupakan hukum tata negara yang berlaku dan wajib dilaksanakan. Akan tetapi, kesulitan utamanya ialah memindai UUD 1945 dari tataran abstrak ke tataran praktis. Kesulitan itu karena, prosesnya dipengaruhi dan bergantung pada kekuatan politik, ekonomi, dan sosial, serta watak konstitusi itu sendiri.

Dari dua hal itu, mari dilihat bagaimana demokrasi dipindai dalam praktik. Untuk itu, menarik merujuk pada tesis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) dalam buku “How Democracies Die” sebagai alat ukur. Mengkaji praktik demokrasi di sejumlah negara di Eropa dan Amerika Latin sepanjang abad ke-20 hingga krisis kontemporer Amerika Serikat, Levitsky dan Ziblatt menyebut demokrasi mati bukan hanya disebabkan oleh letusan senjata dalam revolusi atau kudeta militer, melainkan karena erosi atas norma-norma politik serta serangan dan pelemahan terhadap institusi demokrasi, seperti lembaga peradilan dan pers. Ironisnya, itu dilakukan oleh para pemimpin politik yang terpilih melalui sistem demokrasi itu sendiri. Mereka yang diandalkan sebagai ‘penjaga gerbang demokrasi’ justru membunuh demokrasi.

Di Indonesia, gagasan demokrasi dalam UUD 1945 belum terpindai paripurna. Malahan, tesis Levitsky dan Ziblatt telah menggejala dalam rupa yang partikular. Aktornya sama, para pemimpin politik di pucuk piramida kekuasaan bidangnya masing-masing. Pemimpin politik ialah mereka yang diberi otoritas dan legitimasi untuk mengambil keputusan-keputusan politik yang memiliki konsekuensi publik (2010:11).

Ada tengarai serupa, mereka terlibat dalam drama ‘abnormalitas’ yang berisiko membuat kita kehilangan demokrasi. Celakanya, sirine tanda bahaya tak berbunyi. Permisifitas membuat kita begitu  toleran terhadap ketaknormalan itu. Kita pun tidak (atau terlambat) menyadari bahwa demokrasi sedang ‘dipreteli’. Maka dari itu, ‘new normal’ harus dimaknai dan didorong untuk menelurkan ‘new norms’ atau norma (kaidah) baru untuk menyingkirkan abnormalitas yang merusak demokrasi.

Abnormalitas Kasat Mata

Dalam praktik demokrasi kita, abnormalitas itu kasat mata. Untuk menjadi pemimpin politik, orang ramai berebut. Kontestasinya lewat mekanisme demokrasi untuk mengisi institusi-institusi fundamental demokrasi. Karena berebut, semangat untuk berkuasa melahirkan pre-power syndrome. Itu ditampakkan dengan macam-macam perilaku. Mulai dari yang menambahi intensitas dan kekhusyukan ritual beragama hingga ada yang menjalani laku klenik tertentu. Sibuk mencari dukungan ke sana kemari. Tak segan memberi janji dalam rupa-rupa bentuk, bahkan bersedia merogoh kocek hingga miliaran.

Tags:

Berita Terkait