Acara Cepat dalam Arbitrase, Apakah Perlu?
Kolom

Acara Cepat dalam Arbitrase, Apakah Perlu?

Expedited arbitration adalah topik yang harus secara serius didalami untuk selanjutnya diatur dalam hukum Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Acara Cepat dalam Arbitrase, Apakah Perlu?
Hukumonline

Dibandingkan dengan peraturan dan prosedur acara cepat atau expedited arbitration yang sudah ada aturannya setidaknya berdasarkan Rules & Procedures dari Singapore International Arbitration Center (SIAC), International Chambers of Commerce (ICC) dan Hong Kong International Arbitration Center (HKIAC), hukum Indonesia dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) belum mengatur mengenai proses persidangan arbitrase dengan hukum acara cepat. BANI dalam hal ini tidak sendirian, karena UNCITRAL Rules juga belum mengatur hal itu.

Apakah Proses Arbitrase Bisa Cepat?

Seseorang pernah menanyakan kepada saya, berapa lama proses arbitrase di Indonesia? Tidak perlu menjadi seorang jenius untuk menjawab pertanyaan itu. Cukup merujuk pada ketentuan Pasal 48 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). 

Tetapi apakah jawaban atas pertanyaan tersebut sesederhana itu? Saya ingin menyegarkan ingatan kita kembali bahwa di samping merujuk pada UU Arbitrase, yang juga sejalan dengan Peraturan dan Prosedur BANI 2018, pada kenyataannya ada beberapa masalah lain yang ujung-ujungnya mengakibatkan proses arbitrase dalam praktik memakan waktu lebih dari 180 hari.

Lamanya proses arbitrase dapat saja diakibatkan oleh pengajuan hak ingkar, berlarut-larutnya pembentukan majelis arbitrase, atau ketidakhadiran salah satu pihak walau sudah dipanggil secara patut. Lalu apakah Pasal 48 ayat (1) UU Arbitrase menjadi kehilangan makna? Sebagaimana diketahui, suatu proses arbitrase baru secara formal dimulai ketika Majelis Arbitrase atau Arbiter Tunggal terbentuk.

Masalahnya, UU Arbitrase sekadar menentukan “180 hari” sebagai tenggat bagi majelis arbitrase atau arbiter tunggal untuk menyelesaikan proses arbitrase. Persoalan timbul manakala suatu permohonan arbitrase hanya mengklaim nilai sengketa yang relatif tidak besar, katakanlah di bawah Rp2 miliar, dan permasalahannya pun tidak rumit. Apakah untuk itu perlu dibuat ketentuan baru, di mana klaim yang nilainya relatif kecil (misalnya tidak lebih dari Rp2 miliar) dan pembuktiannya tidak rumit, cukup diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal? Ataukah klaim “sekecil” itu tetap harus diperiksa dan diputus oleh majelis arbitrase? Apakah klaim tersebut juga bisa diperiksa dan diputus lebih cepat dari 180 hari?

Pada saat ini, acara cepat hanya dikenal dalam praktik litigasi di pengadilan perdata, yang disebut sebagai gugatan sederhana. Tujuan utamanya adalah agar penyelesaian perkara perdata dengan nilai kecil dapat dilakukan dengan mekanisme yang lebih cepat dan sederhana berlandaskan asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Penulis mempunyai pandangan yang sama dengan Binziad Kadafi, seorang peneliti senior yang juga seorang advokat yang baru menyelesaikan program doktor di bidang hukum dari Tilburg Universiteit, Belanda, yang pada pokoknya mengatakan bahwa: “kualitas proses peradilan merupakan salah satu indikator untuk menilai kemudahan berusaha, khususnya dalam enforcing contract”.

Asas Party Autonomi versus Aturan Baku

Lalu bagaimana peluang penerapannya dalam proses arbitrase? Jika pengadilan menganggap penting mekanisme acara cepat, yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 4 tahun 2019 tentang Perubahan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, bukankah proses arbitrase secara logis juga membutuhkan pengaturan yang sama?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait