Sengkarut Legislasi Mineral dan Batubara
Kolom

Sengkarut Legislasi Mineral dan Batubara

Karut-marut legislasi pertambangan mineral dan batubara ini menjadi potret betapa pembentukan peraturan perundang-undangan hari ini amat jauh dari konsep filosofis dan sosiologis.

Bacaan 2 Menit
Sengkarut Legislasi Mineral dan Batubara
Hukumonline

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah diundangkan pada 10 Juni 2020 yang lalu. Ada berbagai masalah legislasi yang muncul dalam RUU ini, yaitu: (1) law making process problem; (2) implementation problem; (3) interpretation problem; dan (4) capacity problem.

Seluruh anteseden ini akan memicu konsekuensi pada potensi kutukan sumber daya pertambangan mineral dan batubara bagi bangsa Indonesia. Sumber daya alam mineral dan batubara yang seharusnya menjadi karunia Tuhan Yang Maha Esa ini bisa menjadi petaka bagi bangsa Indonesia karena adanya cedera moralitas dalam tata kelolanya.

Kegagalan Legislasi

Alasan pertama, yaitu law making process problem. Alasan ini menjadi alasan terkuat mengapa pembentukan UU Minerba ini sangat bermasalah secara moralitas hukum. Sejatinya, ada beberapa sebab mengapa UU No.4 Tahun 2009 perlu diubah, yaitu karena (1) melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah sekurang-kurangnya tujuh kali memberikan status hukum terhadap pasal-pasal dalam UU No.4 Tahun 2009; (2) sinkronisasi dengan pengaturan dalam rezim pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merekonstruksi kewenangan pemerintahan daerah dalam urusan pertambangan minerba; (3) memenuhi kebutuhan hukum yang tidak dapat diakomodir dalam UU No. 4 Tahun 2009; dan (4) merasionalisasi pasal-pasal dalam UU No. 4 Tahun 2009 yang tidak dapat diimplementasikan dalam praktiknya karena pasal-pasalnya di luar kemampuan norm adresaat dalam menjalankannya.

Seluruh sebab ini menjadi antiseden mengapa UU No. 4 Tahun 2009 diubah. Namun, celakanya dari berbagai antiseden ini, terlihat jiwa UU Minerba yang baru, lebih kental dengan semangat pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya korporasi gajah di bidang tambang. UU ini berjiwa korporatisme-kapitalistik.

Terdapat delapan perusahaan pertambangan yang akan berakhir kontrak pertambangannya antara tahun 2020-2025 yang tetap ingin melanjutkan operasi tambangnya sampai dengan dua puluh tahun ke depan. Ini menyangkut kesinambungan bisnis korporasi tambang yang hampir mati bila tak ada akrobat hukum dalam UU Minerba.

Perusahaan-perusahaan swasta ini terganjal dengan eksistensi UU No. 4 Tahun 2009 yang bernafaskan Pasal 33 UUD NRI 1945. Dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 69, Pasal 75, Pasal 75, UU No. 4 Tahun 2009 norma ‘merah putih’ begitu nyata, yaitu: (1) perusahaan pertambangan yang memegang kontrak karya/perjanjian karya, operasinya hanya berlaku sampai dengan kontrak/perjanjiannya berakhir; (b) kontrak karya/perjanjian karya tidak dapat langsung diperpanjang menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK); (c) untuk mendapatkan IUPK, proses pendapatannya melalui prosedur hukum yang ketat dan nasionalistis, yaitu penetapan WPN oleh DPR, lalu penetapan wilayah usaha pertambangan khusus (WUPK) yang memperhatikan aspirasi daerah, apabila dalam WUPK ingin diusahakan melalui IUPK maka hak prioritas untuk mengusahakannya berada pada BUMN; dan (d) luas wilayah IUPK untuk operasi produksi hanya sebesar 15.000 hektare. Pasal ini menghambat perusahaan kontrak pertambangan yang memiliki kontrak karya/perjanjian karya untuk melanjutkan operasi tambangnya secara langsung dengan luas wilayah sampai dengan ratusan ribu hektare. Ini ketentuan ‘Merah Putih” dalam UU No. 4 Tahun 2009.

Lalu di UU No. 4 Tahun 2009 ini dibongkar-paksa oleh UU No. 3 Tahun 2009. Terlihat korporatismenya norma dalam UU baru ini, yaitu kontrak/perjanjian karya yang berakhir dapat diperpanjang dengan IUPK sampai dengan dua puluh tahun dengan luas wilayah existing berdasarkan persetujuan Menteri. Tidak ada lagi peran DPR dalam penentuan kewilayahan pertambangannya, tidak ada prioritas kepada BUMN/BUMD sesuai kehendak Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) bahwa mineral dan batubara harus dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan negara jelas melalui pengelolaan langsung oleh BUMN/BUMD. Semuanya sirna.

Tags:

Berita Terkait