7 Alasan Penanganan Covid-19 Dinilai Tidak Optimal
Berita

7 Alasan Penanganan Covid-19 Dinilai Tidak Optimal

Salah satunya karena minim instrumen hukum penanggulangan pandemi Covid-19 misalnya belum ada peraturan turunan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pandemi Covid-19 di Indonesia belum berakhir, sebagaimana dilansir laman covid.go.id per Senin (20/7/2020) jumlah positif Covid-19 mencapai 88.214 orang, sembuh 46.977, dan meninggal 4.239.  Kalangan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Paguyuban Rakyat Indonesia Melawan Pandemi Covid-19 yang terdiri dari sejumlah lembaga seperti LBH Jakarta, YLBHI, ICW, Migrant Care, Lokataru Foundation, dan AJI Indonesia menilai pemerintah tidak serius dan maksimal menangani Covid-19.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mencatat sedikitnya ada 7 penyebab kebijakan pemerintah tidak optimal. Pertama, absennya kepemimpinan yang memahami keilmuan, peka terhadap krisis, berempati, tanggap dan konsisten dalam membuat dan melaksanakan kebijakan. Arif menilai sejak awal pandemi sampai sekarang terlihat jelas narasi yang disampaikan pemerintah tidak mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat dan tidak menciptakan rasa aman sesuai mandat konstitusi.

Kedua, tidak ada komunikasi krisis yang benar, serta buruknya tata kelola dan transparansi data, termasuk mengatur informasi Covid-19. Menurut Arif,, pesan dan informasi yang disampaikan pemerintah cenderung meremehkan, menyangkal bahaya, dampak, dan skala wabah. Ini dilakukan hanya untuk membuat warga “tidak panik” demi kelangsungan kegiatan ekonomi. Kegagalan komunikasi risiko dan koordinasi ini membuat publik semakin bingung dalam menghadapi dan beradaptasi dengan situasi pandemi, menciptakan persepsi risiko yang sangat rendah dan menurunkan kewaspadaan pada tingkat individu.

Ketiga, Arif menyoroti ketiadaan visi dan strategi yang jelas, serta pemahaman mengenai keilmuan pandemi. Keputusan Presiden Joko Widodo menyerahkan penanganan pandemi ini kepada gugus tugas percepatan pengendalian Covid-19 yang beranggotakan lintas kementerian dan lembaga terbukti gagal mempercepat pengendalian pandemi. Keempat, minimnya fungsi pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.

“Ini bisa dilihat dari tidak adanya pengawalan dan pengawasan yang jelas terhadap kebijakan penanganan Covid-19. Alih-alih fokus mengawasi kebijakan eksekutif, DPR justru memilih untuk membahas sejumlah RUU yang menuai kontroversi publik seperti RUU Cipta Kerja.”

Kelima, Arif berpendapat ketiadaan infrastruktur hukum penanggulangan pandemi Covid-19 menjadi masalah fundamental yang menjadi sebab penanganan wabah ini karut-marut. Menurutnya, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus dibarengi dengan kebijakan untuk mengatur karantina rumah, RS, dan wilayah. Tapi sampai saat ini pemerintah belum menerbitkan ketentuan tentang karantina.

“Sampai sekarang belum ada peraturan turunan UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Akibatnya kebijakan kekarantinaan yang diterapkan pemerintah hanya parsial,” katanya ketika dikonfirmasi, Selasa (21/7/2020). (Baca Juga: Mendorong BPK Cegah Penyalahgunaan Dana Covid-19)

Tags:

Berita Terkait