Masukan untuk Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme
Berita

Masukan untuk Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme

Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres secara terbuka.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan sejumlah catatan terhadap proses pertimbangan Rancangan Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme. Hal ini menyusul pernyataan Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yang menyampaikan kepada publik akan melanjutkan pembahasan rancangan Perpres ini.

Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, rancangan Pepres tersebut sudah selesai dan sudah diserahkan ke DPR. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pengesahan rancangan Perpres ini membutuhkan pertimbangan DPR.

Sekjen PBHI, Julius Ibrani, mengungkapkan koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres secara terbuka. “Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka,” ujar Julius dalam keterangannya, Minggu (2/8).

Julius menegaskan, kewajiban pemerintah dan DPR dalam pembahasan rancangan Perpres ini untuk menyampaikan draft rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut kepada publik. Karena itu pemerintah dan DPR tidak boleh menutup-nutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat.

Erwin Natosmal, Koordinator Pilnet Indonesia berpandangan bahwa Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme perlu memuat beberapa prinsip dan substansi pasal-pasal yang menjadi poin masukan koalisi. Terkait tugas TNI dalam menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk mengatasi aksi terorisme, fungsinya hanya penindakan. (Baca Juga: Ini Hak WNI yang Jadi Korban Terorisme di Luar Negeri)

Menurut Erwin, fungsi penindakan tersebut sifatnya hanya terbatas untuk menangani pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat. “Ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam penanganan terorisme pada objek vital strategis; pun dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden sifatnya harus aktual, ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan,” ujar Erwin.

Selain itu, eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer bukan pada kondisi tertib sipil. TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. “Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam draft lama rancangan perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM,” ujar Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf.

Tags:

Berita Terkait