RUU Perlindungan Data Pribadi Harus Bisa Antisipasi Modus Kejahatan Elektronik
Berita

RUU Perlindungan Data Pribadi Harus Bisa Antisipasi Modus Kejahatan Elektronik

Karena fakta di lapangan banyak terjadi kasus kebocoran data, penyalahgunaan data, hingga jual beli data meskipun terdapat beberapa peraturan sektoral yang tersebar di beberapa UU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Teknologi informasi terus mengalami perkembangan pesat yang tak dapat terbendung seiring perubahan zaman. Berbagai modus kejahatan pun semakin canggih denngan menggunakan sarana teknologi. Untuk itu, rumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi perlu mengantisipasi berbagai bentuk kejahatan terutama dalam beragam bentuk transaksi elektronik.   

“Draf RUU Perlindungan Data Pribadi semestinya harus betul-betul jeli ke depan untuk mengantisipasi kejahatan transaksi elektronik yang akan datang, bagaimana sistem keamanannya agar tidak mudah dijebol,” ujar Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha dalam sebuah diskusi bertajuk “RUU Perlindungan Data Pribadi, Dapatkah Data Warga Terlindungi” di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (4/8/2020). (Baca Juga: Komisi Informasi Akan Berikan Masukan RUU PDP)

Dia menegaskan substansi RUU Perlindungan Data Pribadi harus bisa mengantisipasi potensi modus kejahatan baru melalui sarana teknologi. Bila materi muatan RUU PDP tidak mengadopsi perkembangan modus kejahatan elektronik berdampak terhadap anggaran negara kalau pada akhirnya UU PDP kembali direvisi yang membutuhkan anggaran besar. “Merevisi sebuah UU bukan perkara mudah. Selain tenaga dan pikiran, anggarannya tidak sedikit.”

Seperti UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tak kunjung rampung dibahas oleh DPR selama dua periode. Konsekuensinya, anggaran menjadi sia-sia yang sudah dikeluarkan tanpa rampungnya pembahasan RUU. “Komisi I dan pemerintah harus betul-betul melihat RUU ini dibuat untuk mengantisifasi laju pesatnya informasi transaksi elektronik,” kata ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Tamliha menilai kebocoran data pribadi konsumen belakangan terakhir marak terjadi, seperti kasus Tokopedia. Tak hanya lembaga telekomunikasi, penyedia market place e-commerce tak lepas dari kebocoran data. Mulanya, penyelenggara telekomunikasi atau penyedia market place meminta data konsumen secara lengkap. Mulai nama, nomor induk kependudukan, hingga nomor telepon. Sayangnya dalam praktik, data pengguna yang terkumpul dapat dijebol oleh pihak yang tak bertanggung jawab untuk digunakan hal-hal tertentu.

Anggota Komisi I DPR Sukamta menambahkan dalam kurun 15 tahun terakhir, setidaknya terdapat 7,5 miliar data digital yang mengalami kebocoran secara global. Sedangkan di Indonesia terdapat belasan juta data pengguna mengalami kebocoran. Mulai nama, alamat, nomor telepon, alamat email, tanggal lahir, hingga kata kunci (password). Kendatipun Indonesa memiliki 32 peraturan perundang-undangan yang tersebar, namun belum mengatur secara komprehensif untuk mengantisipasi maraknya modus kejahatan teknologi.

“Tentu perlindungan data ini menjadi penting, keamanan data bukan hanya data pribadi sebetulnya. Ini perlu menjadi perhatian negara karena ini bagian dari hak asasi manusia,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Tags:

Berita Terkait