Komnas HAM Sikapi Kasus Buruh Migran Indonesia di Sabah Malaysia
Berita

Komnas HAM Sikapi Kasus Buruh Migran Indonesia di Sabah Malaysia

Buruh migran Indonesia yang dideportasi dan berada di tempat penahanan tahanan sementara dalam kondisi memprihatinkan. Komnas HAM mengindikasikan ada praktik perbudakan modern, sehingga kasus ini agar menjadi perhatian dunia internasional.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung Komnas HAM. Foto: Hol/Sgp
Gedung Komnas HAM. Foto: Hol/Sgp

Persoalan yang dialami buruh migran Indonesia seolah tak pernah habis. Hasil penelusuran yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) periode Maret-Juli 2020 mencatat ada 900 buruh migran penyintas siksaan di pusat tahanan sementara (PTS) di Sabah, Malaysia. Mereka menunggu proses administrasi deportasi karena tidak memiliki dokumen.

Koordinator KBMB Musdalifah Jamal mengatakan periode Juni-Juli 2020, pihaknya melakukan wawancara dengan 33 deportan yang terdiri dari 17 laki-laki, 15 perempuan, dan 1 anak yang berasal dari Sulawesi, NTB, dan NTT. Mereka juga bertemu dengan deportan anak berusia 9 sampai 4 tahun. Secara umum buruh migran Indonesia yang dideportasi dan ditahan di PTS Sabah, Malaysia itu mengalami penangkapan, penahanan, menjalani hukuman penjara, penyiksaan di PTS dan dideportasi ke Indonesia.

“Dari hasil wawancara itu, kami menemukan ada suatu pola yang menunjukan praktik penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan di PTS telah berlangsung secara massal dan sistematis,” kata Musdalifah dalam diskusi secara daring, Rabu (5/8/2020) kemarin.

Deportan harus menunggu lama di PTS karena proses administrasi deportasi yang rumit dan tidak efisien baik di Malaysia ataupun Indonesia. Kondisi ini diperparah karena Gubernur Kalimantan Utara melayangkan surat kepada otoritas Sabah yang intinya meminta penundaan proses deportasi karena tidak memiliki anggaran untuk menerima deportan dengan menerapkan prosedur penanganan Covid-19.

Musdalifah mencatat sedikitnya 4 hal yang menjadi perhatian terkait penanganan deportan di Sabah, Malaysia. Pertama, kondisi dan perlakuan terhadap deportan di PTS tidak manusiawi. Kedua, penahanan berkepanjangan yang menyebabkan perampasan kebebasan tanpa alasan terhadap ribuan deportan atau tahanan keimigrasian. Ketiga, PTS menjadi institusi penyiksaan yang terjadi bertahun-tahun. Keempat, situasi yang tidak manusiawi itu juga dialami kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan usia lanjut.

Untuk persoalan di Indonesia, Musdalifah mengatakan proses deportasi dan koordinasi lintas instansi pemerintah berjalan kacau. Muncul persoalan serius akibat pemerintah tidak siap mengantisipasi gelombang deportasi massal. Setidaknya, ada 4 masalah yang dihadapi deportan di Indonesia. Pertama, tidak tersedia fasilitas pengobatan di tempat penampungan BP3TKI di Makassar. Kedua, tidak tersedia layanan kesehatan mental. Ketiga, tempat penampungan BP3TKI di Makassar melampaui kapasitas. Keempat, tidak tersedia fasilitas untuk anak-anak dan deportan berkebutuhan khusus.

Dia mendesak pemerintah Malaysia untuk menghentikan dan mencegah penyiksaan di PTS. Memastikan akses rutin bagi lembaga HAM terpercaya untuk mekanisme pengawasan terhadap PTS. Menyederhanakan prosedur administrasi deportasi guna mencegah penahanan berkepanjangan. Menyelidiki dan menghukum pelaku kekerasan di PTS. Melakukan reformasi sistem hukum untuk melindungi buruh migran yang bekerja di Malaysia dan tidak mengkriminalkan buruh migran tidak berdokumen.

Tags:

Berita Terkait