Catatan terhadap Perma Pedoman Pemidanaan Korupsi
Kolom

Catatan terhadap Perma Pedoman Pemidanaan Korupsi

Beberapa isu mungkin akan timbul dalam pelaksanaan pedoman pemidanaan ini.

Bacaan 2 Menit
Rifqi S. Assegaf. Foto: Istimewa
Rifqi S. Assegaf. Foto: Istimewa

Akhir Juli 2020, Mahkamah Agung (MA) mengundangkan Peraturan MA No. 1 tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (Perma 1/2020). Terobosan hukum yang penting ini diharapkan menjawab setidaknya dua masalah pokok: pertama, disparitas hukuman, yakni penjatuhan berat hukuman yang berbeda jauh terhadap kasus yang tingkat kerugian/dampaknya serta kesalahan pelakunya relatif mirip, baik antar majelis hakim yang berbeda atau oleh majelis yang sama; kedua, disproporsionalitas pemidanaan, yakni penghukuman yang tidak sebanding dengan kerugian/dampak perbuatan dan/atau kesalahan pelaku. Kedua masalah di atas perlu direspon karena mengusik rasa keadilan, baik bagi terpidana maupun masyarakat, yang pada gilirannya merusak imej institusi peradilan.

Pandangan sebagian ahli bahwa keberadaan pedoman pemidanaan akan membatasi kemandirian hakim atau akan melahirkan ketidakadilan tidak sepenuhnya berdasar. Pedoman pemidanaan macam ini dikenal di banyak negara dan dianggap konstitusional (tidak melanggar prinsip independensi pengadilan) menurut ahli serta pengadilan tertinggi di beberapa negara (Ashworth, 2005). Potensi ketidakadilan, meski ada, sangat tergantung pada desain dan substansi pedomannya, bukan pada adanya pembatasan diskresi hakim dalam menjatuhkan pidana an sich. Bahkan sebaliknya, sebagaimana disebutkan sebelumnya, ketiadaan pedoman melahirkan berisiko ketidakadilan yang lebih besar.

Sekilas mengenai Perma 1/2020

Secara garis besar, Perma 1/2020 mengatur rentang hukuman yang wajib dijatuhkan oleh hakim, rentang mana ditentukan berdasarkan dua faktor utama. Pertama, besar kerugian keuangan/perekonomian negara yang diakibatkan dari perbuatan korupsi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, dalam kasus, seperti pengadaan barang/jasa, penganggaran atau penyaluran bantuan. Kedua, tinggi-rendahnya tingkat “KDK”, yakni Kesalahan (pelaku), Dampak (perbuatannya) serta Keuntungan (yang diperolehnya).

Tingkat kesalahan diukur dari, antara lain derajat peran pelaku (misal aktor kunci atau hanya pembantu), tingkat perencanaan atau modus kejahatan (misal direncanakan, modus canggih, dst), kapan kejahatan dilakukan (misal dilakukan pada masa krisis atau bencana). Dampak dari perbuatan dilihat dari, misal, dalam kasus pengadaaan barang, apakah barang masih dapat dimanfaatkan, atau apakah perbuatan mengakibatkan penderitaan bagi kelompok masyarakat rentan.

Sedang keuntungan diukur dari persentase hasil korupsi yang diperoleh pelaku dibandingkan dengan nilai kerugian negara, dan/atau presentase kerugian negara yang kembali. Di luar itu, hakim tetap perlu memperhatikan faktor-faktor (pendukung) berupa alasan peringan dan pemberat lain, meski pengaruhnya terhadap hukuman tidak sebesar dua faktor di atas, misalnya riwayat kejahatan (pernah tidaknya terdakwa melakukan kejahatan sebelumnya), status jabatan terdakwa (apakah terdakwa aparat penegak hukum atau ASN), apakah hasil korupsi sudah dinikmati, dan sebagainya.

Secara umum, penentuan faktor-faktor utama yang menentukan tingkatan rentang hukuman yang diatur dalam Perma sudah tepat. Memang dapat dipertanyakan, misalnya, mengapa riwayat kejahatan atau status terdakwa (misal pejabat tinggi negara atau aparat penegak hukum) tidak dijadikan faktor utama (hanya dijadikan alasan pemberat/peringan). Tidak jelas pula mengapa sudah atau belumnya terdakwa menikmati hasil korupsi perlu dijadikan pertimbangan dalam penghukuman.

Perma ini juga memuat tabel untuk memudahkan hakim menentukan hukuman yang harus dijatuhkan. Sebagai ilustrasi, rentang hukuman penjara bagi pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara di atas Rp100 miliar adalah 16-20 tahun/seumur hidup (jika KDK tinggi), 13-16 tahun (jika KDK sedang) dan 10-13 tahun (jika tingkatnya KDK rendah).

Tags:

Berita Terkait