Joko Tjandra Jadikan Putusan Penolakan PK KPK Sebagai Novum
Berita

Joko Tjandra Jadikan Putusan Penolakan PK KPK Sebagai Novum

Menurut ahli, putusan itu tidak bisa jadi novum karena terganjal putusan Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Otto Hasibuan. Foto: RES
Otto Hasibuan. Foto: RES

Beberapa waktu lalu Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas putusan kasasi dalam perkara pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Nah ternyata putusan ini akan dimanfaatkan oleh Joko Tjandra, terpidana perkara Cessie Bank Bali yang baru ditangkap beberapa pekan lalu setelah 11 tahun buron untuk mengajukan PK kembali. Hal itu dinyatakan oleh penasihat hukum Joko Tjandra, Otto Hasibuan. Menurut Otto, putusan itu akan menjadi salah satu bukti baru (novum) jika pihaknya nanti memutuskan mengajukan kembali upaya hukum luar biasa tersebut.

Menurut Otto, putusan MA yang menolak PK yang diajukan KPK sangat kontradiktif dengan perkara kliennya. “Disitulah letak ketidak adilannya. KUHAP-nya sama. tetapi mengapa dulu bisa PK dan sekarang  tidak bisa. Artinya sejak dulu sebenarnya norma hukumnya tidak bisa PK,” ujar Otto kepada hukumonline.

Saat ditanya apakah nanti hal itu akan menjadi salah satu novum jika pihaknya mengajukan PK, Otto mengamininya. “Mungkin bisa salah satu (novum),” tambahnya.

(Baca juga: Penangkapan Djoko Tjandra, Jawaban Atas Keraguan Publik).

Namun hingga saat ini Otto sendiri belum bisa memastikan apakah langkah tersebut akan diambil oleh kliennya. “Belum ada keputusan soal PK tersebut,” tuturnya.

MA menolak PK yang diajukan KPK karena dianggap tidak memenuhi syarat formil. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan setelah diteliti oleh hakim penelaah dan berdasarkan memorandum Kasubdit perkara PK dan Grasi  pidana khusus pada MA ternyata permohonan PK tersebut tidak memenuhi persyaratan formil sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Selain itu juga tidak sesuai dengan putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 dan SEMA No. 04 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka berkas perkara permohonan PK atas nama Syafruddin dikirim kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama. Surat pengantar pengiriman itu sendiri bertanggal 16 Juli 2020.

Tags:

Berita Terkait