Persoalan Ini Jadi Kekhawatiran Bansos Rp600 Ribu ke Karyawan Tak Tepat Sasaran
Berita

Persoalan Ini Jadi Kekhawatiran Bansos Rp600 Ribu ke Karyawan Tak Tepat Sasaran

Basis data yang mengacu BPJS Ketenagakerjaan dianggap belum mencerminkan kondisi sebenarnya pekerja yang berhak menerima bansos.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah merencanakan program bantuan sosiak untuk karyawan swasta sebesar Rp 600 ribu per bulan. Rencana ini bertujuan untuk mendorong konsumsi masyarakat yang merosot karena dampak Covid-19. Nantinya, bantuan tersebut akan berlangsung selama empat bulan dan diberikan langsung melalui rekening karyawan setiap dua bulan.

Syarat lain, karyawan tersebut aktif terdaftar di Badan Perlindungan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp150 ribu per bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan. Pemerintah mencatat ada 13,8 juta pekerja yang menjadi sasaran bansos tersebut dengan alokasi anggaran mencapai Rp 31,2 triliun.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan menilai positif kehadiran program bansos tersebut karena dapat melindung pekerja dan membantu dunia usaha tetap berjalan tanpa pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, dia mengatakan terdapat risiko program bansos tersebut tidak tepat sasaran karena dasar pemberian bansos mengacu data peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. (Baca Juga: Melihat Persyaratan Bantuan Rp600 Ribu per Bulan untuk Karyawan)

“Skema ini bagus untuk melindungi pekerja dan karena membantu perusahaan tetap berjalan, tidak melakuka. PHK. Kerentanannya atau potensi masalahnya adalah pada data pekerja yang menjadi dasar pemberian bantuan yang akan berbasis data peserta BPJS ketenagakerjaan,” jelas Misbah kepada hukumonline, Sabtu (8/8).

Dia menjelaskan alasan pertama yaitu masih banyak perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga, risiko jumlah pekerja yang tidak menerima bansos tersebut juga besar karena tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Alasan kedua, Misbah mengatakan selama ini umum diketahui adanya praktik perusahaan sering melaporkan gaji karyawan di bawah nilai sebenarnya untuk tujuan mengurangi nilai kewajiban pembayaran iuran BPJS. Hal ini menjadi risiko penerima bantuan ini justru mereka yang pendapatannya sebenarnya sudah tinggi atau di atas Rp5 juta.

Dia menyarankan pemerintah agar mencari cara untuk mendapatkan data yang lebih mendekati kondisi sebenarnya. Menurutnya, data kepersetaan BPJS bisa jadi rujukan umum, namun sebaiknya disertai dengan langkah untuk melakukan pendataan ke perusahaan-perusahaan. Pemerintah juga perlu memberi kesempatan bagi perusahaan untuk melaporkan data pekerja mereka yang pendapatannya di bawah Rp5 juta.

Persoalan lain, Misbah mengkhawatirkan karyawan-karyawan yang mendapatkan bansos tersebut bekerja pada perusahaan-perusahaan penunggak pengemplang pajak atau perusahaan yang sudah mendapatkan keringanan pajak dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Menurutnya, hal tersebut menimbulkan ketidakadilan.

Tags:

Berita Terkait