Regulasi Penanggulangan Bencana Kurang Komprehensif, DPR Usulkan Undang-Undang Baru
Berita

Regulasi Penanggulangan Bencana Kurang Komprehensif, DPR Usulkan Undang-Undang Baru

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan koordinasi pusat-daerah jadi masalah krusial selama ini.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Bangunan hancur karena gempa. Foto: MYS
Bangunan hancur karena gempa. Foto: MYS

Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui menjadikan RUU Penanggulangan Bencana sebagai RUU usul inisiatif anggota Dewan. RUU ini akan menggantikan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Perubahan ini dilatarbelakangi pengalaman penanganan bencana di beberapa daerah, terakhir bencana nasional nonalam berupa pandemi Covid-19.

Pengalaman menangani Covid-19 memperlihatkan banyak kelemahan dalam UU No. 24 Tahun 2007, termasuk koordinasi antara pusat dan daerah. Mitigasi risiko dan pencegahan bencana juga perlu diperkuat. Demikian pula kegamangan pejabat pemerintah menetapkan status bencana sehingga berpotensi menimbulkan masalah hukum di masyarakat karena ada halangan menjalankan kewajiban-kewajiban hukum.

“UU lama belum mengatur secara jelas masalah penetapan status bencana dan pelibatan bantuan asing,” jelas anggota Komisi VIII DPR, Hj. Lisda Hendrajoni dalam webinar ‘Kebijakan Revisi UU Penanggulangan Bencana: Urgensi, Problematika, dan Alternatif Solusi’, Kamis (13/8) kemarin.

(Baca juga: Iktikad Baik, Unsur Penting Penerapan Klausula Force Majeur).

Politisi Partai Nasdem itu mengatakan DPR sudah menyetujui untuk mulai membahas RUU dan membuat substansinya lebih komprehensif dibanding UU no. 24 Tahun 2007. “Tanggal 12 Mei lalu sudah disepakati untuk dibahas,” jelasnya.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Buhori, mengamini penjelasan Lisda. Gagasan yang berkembang di Senayan bukan hanya melakukan revisi, tetapi melakukan perombakan menyeluruh, sehingga menjadi Undang-Undang baru. “Mengubah kebijakan secara menyeluruh, bukan hanya perubahan pasal per pasal,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera  (PKS) itu.

Salah satu yang disorot Buhori adalah harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bencana. Misalnya, bencana yang berkaitan dengan kesehatan ada UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular; atau bencana akibat konflik sosial yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. DPR, kata Buhori, menginginkan harmonisasi banyak peraturan perundang-undangan dengan penanggulangan bencana. Termasuk regulasi tentang tata ruang, desa, perumahan dan kawasan permukiman, kesehatan, disabilitas, dan Tentara Nasional Indonesia. “Ada sekitar 16 Undang-Undang terkait,” ujarnya.

(Baca juga: PSHK Sarankan DPR Tunda Bahas RUU Penanggulangan Bencana).

Manajemen pencegahan dan penanganan bencana penting mendapat perhatian agar upaya bersama dapat dilakukan. Pencegahan, misalnya, penting diatur agar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak lagi dipandang sebagai ‘tukang bersih-bersih’. Lisda menyebut bencana di Indonesia bukan peristiwa baru, melainkan sudah berkali-kali dan berulang. Kondisi geografis Indonesia juga diakui secara ilmiah sebagai daerah rawan bencana, sehingga pencegahan seharusnya dapat dipersiapkan sejak awal. “Jadi, harus kita pikirkan bagaimana menanganinya,” tegas anggota Komisi VIII DPR itu.

Tags:

Berita Terkait