Beragam Masukan untuk Penguatan MK
Utama

Beragam Masukan untuk Penguatan MK

Mulai soal kepatuhan pelaksanaan putusan MK; peran MK dalam penguatan demokrasi elektoral; memperjelas wewenang pengujian formil di MK; mengokohkan tafsir konstitusi di bidang ekonomi; konsisten putusan MK; hingga perlu kewenangan constitutional complaint.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Memasuki usia 17 tahun pada 13 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) memegang peran sentral menjaga dan menegakkan konstitusi. Tentunya, tantangan MK ke depan semakin kompleks sebagai pengawal konstitusi di tengah perkembangan hukum ketatanegaraan yang sangat dinamis, sehingga membutuhkan penguatan kelembagaan baik melalui perubahan UU MK maupun oleh MK sendiri.

Koorbid Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif, Violla Reininda mengatakan selama 17 tahun MK berdiri terdapat beberapa diskursus publik sebagai tantangan bagi MK ke depan. Diantaranya persoalan kepatuhan dan tindak lanjut pelaksanaan putusan MK; peran MK dalam penguatan demokrasi electoral (pemilu); memperjelas wewenang pengujian formil di MK; dan mengokohkan tafsir konstitusi di bidang ekonomi.

Misalnya, Kode Inisiatif mencatat sebanyak 162 putusan MK yang dengan amar putusannya dikabulkan belum ditindaklanjuti pemangku kepentingan. Terdapat 76 rekomendasi RUU yang mengakomodasi putusan-putusan MK tersebut. Padahal, diharapkan beberapa putusan MK dapat memperbarui RUU dalam Prolegnas 2020-2024. Selain itu, terdapat sekitar 31 amanat putusan MK diabaikan melalui substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja,

“Ketidakpatuhan putusan MK ditemukan dalam bentuk penghidupan kembali aturan (pasal atau ayat dalam UU, red) yang sudah ‘mati’, tidak ditindaklanjuti, atau ditindaklanjuti sebagian,” kata Violla Reininda saat berbicara dalam diskusi daring bertajuk “17 Tahun MK: Reorientasi Paradigma dan Rekonstruksi Kelembagaan” di Jakarta, Selasa (18/8/2020). (Baca Juga: 17 Tahun Berkiprah, MK ‘Cetak’ 2720 Putusan)

Sebagai contoh, pemerintah tidak menindaklanjuti beberapa putusan MK di bidang pengelolaan Sumber Daya Alam dalam putusan MK No. 30/PUU-VII/2010 yang belum mengubah pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba, khususnya menyangkut wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dan WIUP Khusus. Dan, Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2014 yang mengamanatkan membentuk lembaga penegak hukum terpadu satu atap untuk perkara pidana lingkungan hidup.

Sementara peran MK dalam penguatan dan tatanan demokrasi elektoral dinilai belum optimal dalam upaya membuat terobosan melalui putusannya. Padahal, aturan pemilu dan pilkada kerap menjadi isu yang paling sering diuji di MK. Sejumlah putusan pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada, MK kerap menganggap sebagai open legal policy, seperti aturan parliamentary threshold, presidential threshold, ambang batas pengajuan sengketa pilkada ke MK, dan lain-lain.  

“Putusan MK tentang redesain model pemilu serentak bisa menjadi contoh. MK seyogyanya menanamkan pagar-pagar prasyarat konstitusional, tidak melulu melempar tanggung jawab ke pembentuk undang-undang,” kritiknya.   

Tags:

Berita Terkait