Hatta dan Utang Budi Masyarakat Sipil
Kolom

Hatta dan Utang Budi Masyarakat Sipil

Usaha untuk mengingat perdebatan antara Soekarno-Soepomo dan Hatta ini menjadi penting saat Indonesia berada dalam momen ketika memilih untuk kritis pada kebijakan dianggap memiliki agenda politik praktis.

Bacaan 2 Menit
Gita Putri Damayana. Foto: Istimewa
Gita Putri Damayana. Foto: Istimewa

Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kembali mengadakan rapat. Salah satu capaian terpenting dalam rapat tersebut adalah disahkannya Pasal 28 Undang-Undang Dasar mengenai hak-hak dasar warga negara yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Sekadar mengingatkan kembali, rumusan pasal 28 telah melahirkan perdebatan yang cukup masyhur antara kubu Soepomo-Soekarno versus Hatta mengenai hak-hak individual yang perlu dijamin dalam konstitusi. Menurut Hatta, konstitusi seharusnya menjamin hak-hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapatnya. Soepomo dan Soekarno menolak jaminan hak individual tersebut karena seyogianya seorang warga negara alih-alih menagih haknya, justru seharusnya memeriksa apa kewajibannya sebagai anggota keluarga (baca: warga negara).  

Penolakan Soekarno dan Soepomo lebih karena ekspresi dari hak tersebut merupakan suatu hal yang sifatnya individualis dan bertentangan dengan prinsip kekeluargaan yang rencananya akan dimuat dalam konstitusi. Hatta kemudian mengingatkan agar negara jangan menjadi negara kekuasaan, penindas, disiplin yang mati, pentingnya jaminan bersuara serta hak berkumpul dan menyuarakan pendapat.

Perjalanan sejarah Indonesia menunjukkan bahwa setelah 75 tahun merdeka, posisi Hatta yang akhirnya diadopsi oleh sistem ketatanegaraan kita menunjukkan kebenarannya. Mungkin tak terbayangkan oleh nasionalis tulen seperti Soekarno dan Soepomo bahwa negara perlu memberi ruang bagi warganya untuk mengajukan keberatan dan melakukan perlawanan atas kebijakan. Karena menurut keduanya, negara beroperasi sebagaimana keluarga dengan rakyat sebagai anak dan orangtua adalah Pemerintah (baca: Negara) yang selalu mengambil keputusan terbaik.

Dalam praktiknya kemudian terbentuk lembaga-lembaga seperti Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Ombudsman  hingga Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai gelanggang bagi publik untuk menjalankan haknya untuk mengoreksi kebijakan Pemerintah. Dalam suasana hari kemerdekaan di bulan Agustus tersebut, menarik untuk menyimak kembali bagaimana semangat Hatta akan hak-hak warga tersebut dalam pasal 28 konstitusi kita diimplementasikan kemudian berpuluh tahun kemudian.

Masyarakat Sipil dan Posisi Diametral

Satu kelompok masyarakat yang berhutang budi abadi pada rumusan pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengutarakan pendapat adalah organisasi masyarakat sipil (OMS). Dalam menjalankan mandat keorganisasiannya dalam berbagai bidang, OMS merupakan kelompok yang selalu berupaya memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga seperti PTUN, Ombudsman dan MK tersebut, selain tentunya ke pengadilan umum. Gugatan tata usaha negara, pengujian materi undang-undang hingga pengaduan merupakan sebagian dari upaya OMS untuk memberikan koreksi pada berbagai praktik dan kebijakan pembangunan.

Apabila melihat sejenak tugas dan fungsi lembaga-lembaga tersebut, tugas Ombudsman adalah menerima dan memproses laporan maladministrasi publik, PTUN menyelesaikan sengketa tata negara antara orang atau badan hukum perdata dengan pejabat negara di pusat maupun di daerah sementara MK antara lain tugasnya adalahnya untuk menguji sebuah UU terhadap UUD 1945. Dalam perjalanan sejak pembentukannya, OMS acapkali menggunakan mandatnya untuk mengajukan perkara ke PTUN, mengadukan dugaan maladministrasi ke Ombudsman hingga mengajukan pengujian undang-undang ke MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait