Aspek Kelestarian Lingkungan, Titik Kritis dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Aspek Kelestarian Lingkungan, Titik Kritis dalam RUU Cipta Kerja

Prinsip dasar kebijakan perizinan berusaha berbasis risiko adalah ‘trust but verify’. Penilaian tingkat risiko tetap memperhatikan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perizinan dalam berusaha. Ilustrator: YUSUF
Ilustrasi perizinan dalam berusaha. Ilustrator: YUSUF

RUU Cipta Kerja memperkenalkan konsep baru perizinan berbasis risiko. Perlu tidaknya suatu perusahaan mengurus izin sangat bergantung pada tingkat risiko yang mungkin terjadi. Draf ini memuat beberapa faktor yang wajib dipertimbangkan saat menilai risiko usaha. Tingkat risiko dibedakan atas risiko rendah, risiko menangah, dan risiko tinggi. Hanya bisang usaha yang mengandung risiko tinggi yang diharuskan mengurus izin. Usaha berisiko rendah hanya butuh registrasi, dan risiko menengah cukup memenuhi sertifikat standar.

Perubahan paradigma perizinan dalam RUU Cipta Kerja menyebabkan perubahan kebijakan pada aspek lingkungan hidup. Izin lingkungan, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan amdal, misalnya, kemungkinan dihapuskan. Ini menjadi salah satu titik kritis dalam RUU Cipta Kerja. Menurut Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), menyatakan instrumen-instrumen seperti KHLS, amdal, dan tata ruang masih dibutuhkan demi kelestarian lingkungan hidup.

Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. KLHS adalah rangkaian analisis yang dilakukan guna memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi bagian integral dari kegiatan usaha.

Menurut Raynaldo, perizinan usaha berbasis risiko bukan tanpa tantangan. Pertama, masalah kesiapan data yang berkaitan dengan potensi lingkungan hidup dan sumber daya alam, potensi konflik tenurial, dan inventarisasi kegiatan usaha. Apalagi data mengenai kepatuhan perusahaan terhadap perlindungan lingkungan hidup (environmental compliance). Kedua, pengawasan lingkungan dalam konsep perizinan usaha berbasis risiko masih menghadapi masalah klasik seperti kekurangan sumber daya pengawas, anggaran, dan luasnya wilayah yang harus diawasi. Ketiga, masalah partisipasi publik dalam penentuan dan pengawasan risiko. Siapa yang dapat memastikan bahwa pelaku usaha mematuhi semua ketentuan pelestarian lingkungan hidup?

“Kepatuhan pelaku usaha mempengaruhi kualitas lingkungan,” ujar Raynaldo dalam webinar internasional ‘Perizinan Berbasis Risiko dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup’, yang diselenggarakan ICEL, Rabu (19/8).

(Baca juga: Mengukur Manfaat dan Risiko dalam RUU Omnibus Cipta Kerja).

Pemerintah mengakui ketidaktersediaan data akurat seperti yang dikhawatirkan Raynaldo. Stah Ahli Menteri Koordinator Perekonomian, Lestari Indah, mengatakan data akan dikumpulkan selama tiga tahun ke depan terhitung sejak ketentuan perizinan usaha berbasis risiko diterapkan. Pengumpulan data dilakukan sambil jalan. “Untuk awal, professional judgment dulu,” ujarnya di weninar yang sama.

Ketua Tim Regulasi Berbasis Risiko Kemenko Perekonomian itu memaparkan bahwa perubahan paradigma perizinan yang digagas dalam RUU Cipta Kerja bukan tanpa alasan. Ia membandingkan konsep perizinan yang dipakai sekarang dengan konsep perizinan berbasis risiko yang diperkenalkan RUU Cipta Kerja. Misalnya, saat ini setiap kegiatan usaha diharuskan memiliki izin usaha tanpa mempertimbangkan kompleksitas kegiatan usaha. Semua kegiatan usaha disamaratakan. RUU Cipta Kerja mengatur tingkat risiko usaha dianalisis lebih dahulu untuk menentukan apakah cukup melakukan registrasi, sertifikat standar, atau harus mengurus izin.

Tags:

Berita Terkait