Memaksimalkan Mediasi dalam Menghadapi Sengketa Saat Pandemi
Kolom

Memaksimalkan Mediasi dalam Menghadapi Sengketa Saat Pandemi

Ada beberapa keuntungan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang secara khusus ditinjau dari keadaan pandemi saat ini.

Bacaan 2 Menit
Primayvira Limbong. Foto: Istimewa
Primayvira Limbong. Foto: Istimewa

Ketika physical distancing dan social distancing menjadi dua frasa yang begitu populer beberapa bulan terakhir ini, banyak pertanyaan yang muncul di benak masyarakat, dan banyak pula permasalahan yang tampaknya tidak ada atau setidaknya minim solusi. Tak elaknya masyarakat pencari keadilan. Mereka turut mempertanyakan efektifitas fungsi pengadilan sebagai “rumah perkumpulan pencari keadilan” jika unsur “perkumpulan” tersebut harus dibatasi oleh physical distancing dan social distancing tersebut. Kapasitas pengadilan untuk tetap dapat memberikan access to justice secara maksimal kepada masyarakat dalam kondisi pandemi saat ini mulai diragukan oleh banyak pihak.

Sebagai salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan para pencari keadilan dalam pandemi Covid-19, Ketua Mahkamah Agung secara cepat telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya (“SEMA 1/2020”) pada tanggal 23 Maret 2020.

Menarik bagi Penulis bahwa SEMA 1/2020 tersebut dibuat dan dikeluarkan dengan mengacu pada asas “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” (salus populi suprema lex esto). Untuk tujuan keselamatan para pencari keadilan, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia telah berusaha mencari dan memberikan inovasi-inovasi hukum terbaik, baik secara sistemik maupun praktik melalui SEMA 1/2020 tersebut. Namun demikian, menjadi pertanyaan apakah seluruh upaya tersebut berbanding lurus dengan semangat para pencari keadilan di Indonesia?

Tentunya agar access to justice tetap dapat dinikmati masyarakat pencari keadilan tanpa membahayakan unsur keselamatan, peran serta diharapkan tidak hanya datang dari pihak lembaga peradilan –dalam hal ini Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya– tetapi juga dari masyarakat pencari keadilan itu sendiri. Secara khusus Penulis menitikberatkan pada sengketa-sengketa hukum perdata yang tentunya bersifat privat dan tidak berhubungan dengan kepentingan umum.

Sebagai contoh di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, jumlah perkara perdata (gugatan) yang masuk di bulan Februari 2020 (masa awal pandemi) sebanyak 85 perkara, sedikit menurun jika dibandingkan bulan sebelumnya yakni Januari 2020 di saat pandemi belum masuk ke wilayah Indonesia (109 perkara). Namun cukup mengagetkan ketika perlahan statistik perkara baru yang masuk terus meningkat bahkan di bulan Juni 2020 jumlahnya kembali mencapai angka 103 perkara. Seakan-akan kondisi pandemi saat ini tidak menggoyahkan “semangat berperang” para pencari keadilan, di saat “berperang” sebenarnya bukan satu-satunya solusi untuk memperoleh keadilan dan hak hukum seseorang.

Mediasi -salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang acapkali disepelekan, diabaikan, bahkan dilupakan- bisa menjadi jawaban aats pencarian solusi hukum yang aman dan nyaman dalam masa pandemi ini. Terlebih lagi, kedudukan mediasi juga sudah dikuatkan oleh institusi peradilan di Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“PERMA 1/2016”).

Sayangnya, sekalipun sudah didorong sedemikian rupa oleh institusi peradilan itu sendiri, masyarakat pencari keadilan masih cenderung menyepelekan kekuatan dari “win-win solution” yang ditawarkan mediasi –baik di dalam maupun di luar pengadilan– dan tetap memiliki mindset bahwa berperang, dengan segala konsekuensinya, adalah cara terbaik untuk memperoleh apa yang diinginkan. 

Tags:

Berita Terkait