Sejumlah Indikator UU KPK Hambat Pemberantasan Korupsi
Utama

Sejumlah Indikator UU KPK Hambat Pemberantasan Korupsi

Pembentukan UU No.19 Tahun 2019 dinilai cacat formil yang menghasilkan ketentuan yang melemahkan KPK. Karena itu, diusulkan agar UU No. 19 Tahun 2019 diganti dengan UU yang baru atau setidaknya kembali ke UU No. 30 Tahun 2002.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Terbitnya UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) membawa perubahan terhadap kinerja KPK dibanding KPK sebelum berlakunya UU itu. Seperti diketahui, terbitnya UU No. Tahun 2019 menimbulkan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat karena proses pengesahannya begitu cepat dan materinya dinilai melemahkan KPK.         

Ketua KPK periode 2011-2015, Abraham Samad, menilai UU 19/2019 yang diundangkan pada 17 Oktober 2019 itu melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dibandingkan beleid sebelumnya yakni UU No.30 Tahun 2002, UU KPK saat ini jauh berbeda. Misalnya, Pasal 3 UU No.19 Tahun 2019 mengatur KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Meski pasal ini menyebut dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, Abraham menilai ketentuan ini tetap membuat KPK tidak independen.

Abraham melihat ketentuan serupa juga dinilai mengancam independensi KPK, seperti termuat dalam Pasal 1 angka (6) UU No.19 Tahun 2019 yang mengatur pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN). Dia menilai ada sejumlah hambatan dalam pemberantasan korupsi jika status pegawai KPK berubah menjadi ASN karena bersifat birokratis dan mudah dikooptasi kepentingan politik (kekuasaan).

Hambatan lain juga ditemukan dalam pasal terkait penindakan, penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan. Misalnya, Pasal 37B ayat (1) huruf b UU No.19 Tahun 2019 yang mengatur tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan terlebih dulu harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.

Mengacu berbagai ketentuan yang diatur UU No.19 Tahun 2019 itu, Abraham menyimpulkan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin suram. Tingkat korupsi berpotensi naik dan bisa berdampak terhadap berkurangnya kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Untuk mengembalikan semangat pemberantasan korupsi seperti masa UU No.30 Tahun 2002 masih berlaku, Abraham mengusulkan UU No.19 Tahun 2019 diganti baru.

“Perlu desain UU KPK yang baru yang dapat menjanjikan optimalisasi pemberantasan korupsi di Indonesia. Minimal ketentuannya sama seperti UU No.30 Tahun 2002 atau lebih baik,” kata Abraham dalam webinar bertajuk “Proyeksi Masa Depan Pemberantasan Korupsi: Menelisik Pengesahan Revisi UU KPK”, Rabu (26/8/2020). (Baca Juga: Ahli: Pengesahan Revisi UU KPK Tidak Sah)

Cacat formil

Peneliti PSHK Indonesia, Agil Oktaryal, berpendapat proses pembentukan UU No.19 Tahun 2019 cacat formil, setidaknya di tiga tahapan yaitu perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Dalam proses perencanaan, Agil mencatat UU No.19 Tahun 2019 itu tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Hal ini bisa dilihat dari Keputusan DPR No.19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Prolegnas Prioritas 2019 yang tidak memuat revisi UU KPK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait