Pedoman Pemidanaan: Kepastian atau Keadilan?
Kolom

Pedoman Pemidanaan: Kepastian atau Keadilan?

​​​​​​​Berlakunya PERMA No.1 Tahun 2020 masih menyisakan persoalan yang harus segera diselesaikan, yaitu memperbaiki integritas, profesionalisme dan kualitas putusan hakim.

Bacaan 2 Menit
Rasamala Aritonang. Foto: Istimewa
Rasamala Aritonang. Foto: Istimewa

Pertengahan bulan lalu Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No.1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. PERMA tersebut merupakan upaya Mahkamah Agung untuk mengatasi persoalan disparitas putusan dalam perkara Tipikor. Sebagai ikhtiar memperbaiki kepastian hukum maka langkah Mahkamah Agung perlu diapresiasi. Meski demikian, beberapa catatan penting yang relevan dan masih menjadi perhatian perlu tetap disampaikan untuk memajukan praktik peradilan Indonesia.

Putusan Hakim

Doktrin pemisahan kekuasaan mensyaratkan adanya checks and balances melalui pemisahan struktur organisasi kekuasaan. Parlemen bertugas menyusun peraturan, pemerintah mengimplementasikan peraturan sedangkan pengadilan (yudikatif) menguji validitas tindakan yang dilakukan pemerintah dan warga negara.

Hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudisial bertugas mengejawantahkan norma undang-undang yang bersifat abstrak untuk dapat diterapkan pada kasus kongkret yang terjadi di masyarakat. Dalam praktik, hakim berupaya menemukan dan mengkostruksikan hukum melalui putusannya. Di negara modern, putusan hakim selain menjadi pedoman masyarakat juga merupakan sumber penting dalam menyusun perubahan peraturan perundang-undangan, sebaliknya aturan yang diterbitkan legislator menjadi rujukan hakim dalam menguji kasus yang diajukan.

Secara teoritis, dialektika antara putusan dan peraturan akan mendorong dinamika pembaharuan hukum yang berkelanjutan. Sayangnya, proses semacam ini tidak terjadi dalam hukum Indonesia. Ada beberapa fenomena yang melatarbelakangi. Pertama, “keyakinan hakim” yang menjadi dasar prerogatif dalam mengambil putusan seolah dianggap memberikan kebebasan yang tidak terbatas bagi hakim dalam memutus suatu perkara pidana. konsekuensinya terdapat berbagai variasi putusan yang inkonsisten dalam kasus sejenis.

Kedua, kegagalan hakim menyusun argumentasi yang logis dan meyakinkan dalam pertimbangan putusan, sehingga tidak mungkin dipedomani oleh hakim lain, publik maupun pembuat aturan. Ketiga, kurangnya integritas hakim menyebabkan rendahnya legitimasi sosial terhadap putusan pengadilan. Dalam konteks persoalan tersebut, produktivitas Mahkamah Agung menerbitkan PERMA tidak boleh mengesampingkan prioritas utama untuk menyelesaikan berbagai persoalan substansial tersebut.

Pedoman Pemidanaan

Pada hakikatnya hukum bekerja dalam sistem yang rasional. Konsekuensinya praktik penegakan hukum termasuk penyusunan putusan oleh hakim harus dilaksanakan secara logis. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (negatief wettelijk).

Ketentuan tersebut harus dimaknai bahwa “keyakinan hakim” tidak bersifat ekstase, melainkan harus lahir dari kesadaran dan logika pikir yang benar. “Keyakinan hakim” merupakan resultan dari fakta dan bukti yang diuji dan dinilai berdasarkan prosedur yang diatur dalam undang-undang. “Keyakinan hakim” tersebut harus dapat dijelaskan dalam putusan sehingga masyarakat dapat memahami rasionalitas keadilan yang diyakini oleh hakim. Dengan demikian, kendatipun terjadi disparitas dalam pemidanaan tidak akan menjadikannya persoalan, karena tersedia argumentasi logis yang menjadi justifikasi pemidanaan.

Tags:

Berita Terkait