Ini Alasan MA Vonis Ringan Bupati Talaud
Berita

Ini Alasan MA Vonis Ringan Bupati Talaud

​​​​​​​Putusannya lebih rendah dibanding perantara suapnya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Mantan Bupati Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip usai terjaring OTT KPK April 2019 silam. Foto: RES
Mantan Bupati Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip usai terjaring OTT KPK April 2019 silam. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampak kecewa dengan putusan Mahkamah Agung yang mengurangi hukuman mantan Bupati Talaud, Sri Wahyumi Maria Manalip yang hanya menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Hukuman ini jauh lebih rendah dari putusan sebelumnya yang menjatuhkan pidana selama 4 tahun 6 bulan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan putusan ini preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Menurut Ali, seharusnya MA punya visi dan semangat yang sama dengan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi, apalagi putusan itu dibawah ancaman pidana minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor.

“Kami khawatir putusan tersebut menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK berharap ada kesamaan visi dan semangat yang sama antar aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Ali. (Baca: Hadiah Utlah yang Membuat Bupati Kepulauan Talaud Terkena OTT)

MA sendiri ternyata punya alasan mengapa memutus Sri jauh lebih rendah dari putusan awal bahkan di bawah ancaman minimum pasal yang didakwakan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) ini. Kepada Hukumonline, Juru Bicara MA Andi Samsam Nganro mengungkapkan hal tersebut. “Tetapi secara garis besar, karena Terdakwa belum menerima hadiah-hadiah tersebut/belum menikmati,” kata Andi.

Andi sendiri membenarkan jika MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Sri. “Kabul permohonan PK Pemohon, batal putusan judex facti kemudian MA mengadili kembali: menyatakan Pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UUPTPK. Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp200 juta /subsider 6 bulan kurungan,” terangnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengecam putusan ini. Ia membandingkan vonis itu lebih rendah dari Abdul Latif, Kepala Desa di Kabupaten Cirebon. Kepala Desa itu dihukum selama 4 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp354 juta. Selain itu, putusan PK tersebut juga terlihat aneh sebab bagaimana mungkin hukuman perantara suap jauh lebih tinggi dibanding dengan hukuman penyelenggara negara yang menjadi dalang dari tindak pidana korupsi. Sebagaimana diketahui, Benhur, yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama 4 tahun penjara.

Namun ia mengaku tidak lagi kaget, sebab sedari awal memang Mahkamah Agung tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis ICW pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentunya menurut Kurnia hal ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait