Bakal ‘Digugat’, RUU MK Dinilai Bentuk Politisasi Kekuasaan Kehakiman
Utama

Bakal ‘Digugat’, RUU MK Dinilai Bentuk Politisasi Kekuasaan Kehakiman

KoDe Inisiatif bakal melayangkan pengujian baik dari segi formil maupun materil atas RUU MK yang disahkan menjadi UU karena bermasalah secara prosedural dan materinya tidak substantif.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang baru saja disetujui dan disahkan menjadi undang-undang menuai keberatan dan segera diuji ke MK. Permohonan itu bakal diajukan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif yang menilai pengesahan RUU MK sarat kepentingan politik dan menunjukkan kemunduran dalam berkonstitusi.

"Revisi undang-undang ini cermin politisasi kekuasaan kehakiman yang sempurna untuk menanamkan kaki tangan penguasa. Atas praktik kemunduran konstitusi ini, KoDe Inisiatif akan mengupayakan pengujian konstitusionalitas UU MK," ujar Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/9/2020). (Baca Juga: RUU MK Disahkan dan Alasan Penghapusan Konstitusional Komplain)

KoDe Inisiatif bakal melayangkan pengujian baik dari segi formil maupun materil atas RUU MK yang disahkan menjadi UU itu. Violla Reininda menyoroti RUU MK disahkan menjadi undang-undang hanya dalam waktu 7 hari kerja yakni dimulai dengan persetujuan pembahasan antara DPR dan pemerintah pada 24 Agustus 2020.

Kemudian pada 26-29 Agustus dilakukan rapat tertutup panja untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM). Lalu, pada 31 Agustus 2020 pengesahan RUU MK dalam pembicaraan tingkat I dan pada 1 September 2020 pengesahan RUU MK menjadi undang-undang. Menurut dia, undang-undang itu bermasalah dari segi prosedural. “Materi muatannya juga tidak substantif dan tidak mendesak karena hanya menekankan masa jabatan hakim konstitusi,” sebutnya.

Pengaturan itu diantaranya mengenai penghapusan periodeisasi jabatan hakim konstitusi per lima tahun; perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun (70 tahun); mengubah masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dari 2,5 tahun menjadi setiap 5 tahun. Namun, pengaturan tentang jabatan hakim itu tidak dibarengi dengan penguatan pengawasan hakim, pengetatan penegakan kode etik serta penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim konstitusi di setiap lembaga pengusul.

Viola Reinida menilai semangat yang diberikan draft RUU MK yang ditawarkan DPR dan DIM pemerintah sama saja untuk memberikan “hadiah” buat hakim konstitusi yang sekarang menjadi incumbent. “’Hadiah’ ini bisa ditukar dengan banyak sekali RUU yang kontroversial yang saat ini sedang diujikan,” kata Viola.

Dia merujuk Aturan Peralihan dalam Pasal 87 RUU MK yang menetapkan ketentuan revisi UU MK ini juga berlaku bagi hakim konstitusi yang sekarang menjabat hingga usia 70 tahun. “Jadi hakim-hakim konstitusi ini yang mendapat keuntungan dari perpanjangan masa jabatan, ketua dan wakil ketua MK, perpanjangannya sampai masa pensiun hingga 70 tahun," kata dia.

Tags:

Berita Terkait