Ahli: Aturan Pengunduran Diri Anggota Legislatif Ikut Pilkada Diskriminatif
Berita

Ahli: Aturan Pengunduran Diri Anggota Legislatif Ikut Pilkada Diskriminatif

Sebaliknya, Perludem menilai aturan pengunduran diri anggota legislatif untuk ikut pilkada bentuk pembatasan hak politik yang sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi sesuai Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pilkada. Foto: RES
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pilkada. Foto: RES

Aturan pengunduran diri anggota legislatif untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dinilai diskriminatif. Sebab, tidak ditemukan ketentuan yang mengharuskan para calon mengundurkan diri ketika mereka ditetapkan sebagai peserta pemilu. Hal ini dapat dilihat dari aturan pemilihan presiden tidak diharuskan mengundurkan diri ketika mencalonkan diri pada periode kedua. Bahkan, seorang incumbent presiden pun tidak dikenakan cuti pada saat ia mencalonkan presiden di periode kedua.

“Secara nature kekuasaan, seorang presiden jika tidak mengundurkan diri atau setidaknya cuti dalam masa kontestasi pemilu, ia berpotensi besar menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan dirinya secara tidak sah dan melawan hukum,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Iwan Satriawan saat memberi keterangan sebagai ahli pemohon dalam sidang pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di ruang sidang MK, Senin (31/8/2020) seperti dikutip laman MK.

Menurut Iwan, Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada melanggar asas prinsip persamaan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UU Dasar Tahun 1945. Ia membandingkan pencalonan presiden untuk periode kedua dan jabatan menteri dalam pilkada, karena kedua jabatan tersebut tidak diharuskan mengundurkan diri pada saat dinyatakan sah sebagai calon dalam pemilihan.

“Saya mendukung permohonan Pemohon ketika mengatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 ini tidak memperlakukan anggota DPR, DPRD dan DPD (legislatif) secara adil. Sebab, pada saat yang sama, ketentuan seperti itu tidak diberlakukan untuk jabatan lain seperti presiden dan menteri yang mencalonkan diri dalam pemilu dan pilkada,” kata pria yang juga berprofesi sebagai advokat ini.  

Secara moral konstitusi dan konsistensi pengaturan norma peraturan perundang-undangan, sudah sewajarnya MK membatalkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU No. 10 Tahun 2016 tersebut karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28 ayat (3).

Di akhir keterangannya, Iwan menyampaikan pengalaman negara lain menunjukkan ada pembedaan ketentuan terhadap jabatan politik dan nonpolitik terkait pencalonan mereka dalam pemilihan umum. Menurutnya, perbedaan ini tentu dipengaruhi oleh politik hukum masing-masing negara tersebut yang berdaulat dengan hukumnya sendiri-sendiri.

“Pembentuk hukum di negara itu memiliki grand design legislasi yang terintegrasi, adil, dan memberikan kepastian hukum. Ketika lembaga pembentuk hukum gagal melakukannya, maka disitulah peran dari lembaga peradilan,” kata dia. (Baca Juga: DPR: Perlu Perubahan Aturan Pengunduran Diri Anggota Legislatif Ikut Pilkada)

Tags:

Berita Terkait