Urgensi Pembentukan Undang-Undang Mediasi
Kolom

Urgensi Pembentukan Undang-Undang Mediasi

​​​​​​​Sejumlah alasan melatari urgensi pembentukan UU Mediasi.

Bacaan 2 Menit
Munafrizal Manan. Foto: Istimewa
Munafrizal Manan. Foto: Istimewa

Adagium terkenal dalam dunia hukum bahwa “hukum sering tertinggal di belakang perkembangan zaman” sungguh terkonfirmasi dalam praktik mediasi di Indonesia. Mediasi berkembang pesat di tingkat nasional dan internasional dalam dua dekade terakhir, namun daya dukung legislasi nasional belum lekas menyesuaikan diri.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa belum pernah diubah dan belum masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). UU ini mengatur lebih banyak tentang arbitrase daripada mediasi, dan cenderung mengonstruksikan mediasi hanya sebagai bagian dari proses arbitrase. Padahal, mediasi merupakan salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa yang karakteristiknya berbeda dengan arbitrase.

Mahkamah Agung RI telah berinisiatif mengisi “kekosongan hukum” mediasi melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dasar rujukannya adalah Pasal 130 HIR (Herziene Indonesische Reglement) dan Pasal 154 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten), yaitu Hukum Acara Perdata warisan hukum kolonial Belanda yang diterapkan untuk mediasi di dalam pengadilan (court-annexed mediation). Tujuannya, mendorong perdamaian (dading) para pihak yang bersengketa. Untuk mengakomodasi perkembangan praktik mediasi, Perma ini telah dua kali diubah dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 dan Perma Nomor 1 Tahun 2016.

Salah satu pertimbangan MA melembagakan dan mewajibkan proses mediasi ke dalam sistem peradilan untuk perkara perdata adalah mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Ikhtiar ini cukup membantu, meskipun tampaknya belum berjalan maksimal. Namun yang jelas, MA berjasa menggairahkan praktik mediasi di Indonesia.

Selain itu, Perma Nomor 1 Tahun 2016 mengukuhkan eksistensi mediasi di luar pengadilan. Adanya mekanisme pengajuan Kesepakatan Perdamaian untuk dikuatkan menjadi Akta Perdamaian oleh Pengadilan tingkat pertama, berkontribusi meningkatkan peran mediasi di luar pengadilan dalam sistem hukum Indonesia.

Namun, status dan lingkup Perma sifatnya hanya sebagai peraturan internal MA. Pengaturan mediasi yang lebih luas cakupan dan daya berlakunya harus dituangkan dalam undang-undang. Maka sudah saatnya dilakukan perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 1999 atau lebih ideal membentuk UU khusus tentang Mediasi. Sejumlah negara telah memiliki undang-undang ini, misalnya Argentina (2010), Rusia (2011), China (2011), Kazakhstan (2011), Ukraina (2011), dan Moldova (2015).

Ada beberapa alasan urgensi pembentukan UU Mediasi. Pertama, ruang lingkup mediasi kini semakin luas, tidak lagi hanya sengketa perdata yang menyangkut hak ekonomi, sosial, dan budaya, tetapi juga merambah perkara pidana tertentu (mediasi penal) yang berkaitan dengan hak sipil dan politik. Ini telah dipraktikkan dalam sistem peradilan pidana anak melalui diversi yang berbasiskan prinsip keadilan restoratif (restorative justice).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait