Tiga Indikasi State Capture Corruption dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Tiga Indikasi State Capture Corruption dalam RUU Cipta Kerja

Beberapa persoalan RUU Cipta Kerja sektor lingkungan hidup diantaranya penyederhanaan tidak rasional dari naskah akademik, kompleksitas pengaturan, penghapusan izin lingkungan, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum, pelemahan peran pemerintah daerah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah dan DPR terus membahas RUU Cipta Kerja meskipun banyak kalangan yang mengkritik. Sorotan tajam terhadap RUU Cipta Kerja tak hanya berasal dari kalangan organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, dan lembaga negara, tapi juga kalangan akademisi. RUU Cipta Kerja menyasar puluhan UU, salah satunya UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dosen Universitas Hasanuddin, Makassar, Laode Muhammad Syarif, menilai publik patut mencurigai penyusunan RUU Cipta Kerja. Laode menyebut hasil penilaian masyarakat internasional, seperti World Justice Project, Indonesia menjadi salah satu negara yang tingkat korupsinya memprihatinkan dengan indeks persepsi korupsi rendah yakni 21. Jika kualitas penegakan hukum dan politik di Indonesia berjalan baik, indeks persepsi itu bisa di atas 40.

Dia menilai korupsi yang paling dominan di Indonesia yakni korupsi politik. Selain itu, potensi konflik kepentingan dalam lembaga negara yang menerbitkan kebijakan seperti DPR juga sangat tinggi karena dari 575 anggota DPR, 262 diantaranya merupakan pengusaha. Konflik kepentingan ini bisa terlihat dari beberapa UU yang dihasilkan, seperti revisi UU KPK, UU Minerba, dan yang terakhir RUU Cipta Kerja.

Laode memberi contoh ketidakberpihakan pemerintah dan DPR kepada masyarakat tercermin dari revisi UU Minerba yang baru disahkan menjadi UU. Mengacu beleid sebelumnya, perusahaan pemegang izin yang kontraknya habis harus melakukan tender ulang. Tapi ketentuan itu dihapus dalam revisi UU Minerba yang baru, sehingga perizinan bisa berlanjut tanpa tender ulang. Hal yang sama dikhawatirkan terjadi dalam RUU Cipta Kerja, apalagi pembahasannya sejak awal tertutup.

Menurutnya, penyederhanaan perizinan demi kemudahan berusaha dan meningkatkan investasi dalam RUU Cipta Kerja tidak menjawab masalah lingkungan hidup dan SDA di Indonesia. Seperti tidak menjawab keadilan pusat dan daerah; kepatuhan pembayaran royalti/pajak/PNBP; masalah korupsi, dan kelanjutan ekonomi di daerah tambang setelah ditutup. Termasuk tidak menyentuh solusi penyelesaian masalah perizinan yang tidak clear and clean, dan konflik lahan yang terjadi di masyarakat.

“Bisa disimpulkan jika ini dipaksakan (untuk disahkan, red), pemerintah dan DPR tidak berpihak terhadap perlindungan lingkungan hidup dan SDA,” kata Laode dalam webinar bertajuk “Pelemahan UU Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja: Suara dari Akademisi”, Kamis (3/9/2020). (Baca Juga: Amnesty International: RUU Cipta Kerja Berpotensi Merampas Hak Buruh)

Dalih pemerintah dan DPR yang menyebut perizinan, terutama di sektor lingkungan hidup sebagai penghambat investasi, menurut Laode tidak tepat. Survei World Economic Forum terhadap pelaku bisnis mengungkapkan sejumlah faktor utama penghambat investasi di Indonesia, posisi pertama yakni korupsi. Diikuti, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan tidak stabil.

Tags:

Berita Terkait