Guru Besar Ini Kritisi Kekeliruan Strict Liability dan Sanksi dalam RUU Cipta Kerja
Berita

Guru Besar Ini Kritisi Kekeliruan Strict Liability dan Sanksi dalam RUU Cipta Kerja

Beberapa persoalan RUU Cipta Kerja sektor lingkungan hidup diantaranya penyederhanaan tidak rasional dari naskah akademik, kompleksitas pengaturan, penghapusan izin lingkungan, pelemahan aspek pengawasan dan penegakan hukum, pelemahan peran pemerintah daerah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Materi muatan RUU Cipta Kerja terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Kini, sejumlah catatan kritis datang dari kalangan akademisi. Salah satu substansi yang menjadi sorotan terhadap isu lingkungan hidup dan SDA dalam RUU Cipta Kerja yakni soal konsep strict liability dan pengaturan penerapan sanksi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Andri Gunawan Wibisana, melihat naskah akademik RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya frasa “bertanggung jawab mutlak” menjadi “bertanggung jawab” dan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” menjadi “berdasarkan pembuktian yang sah.”

Alasan yang digunakan untuk menghapus konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja yaitu “karena setiap pidana harus dijatuhkan karena adanya pembuktian.” Menurut Andri, dalih naskah akademik yang digunakan untuk mengubah Pasal 88 UU No.32 Tahun 2009 keliru memahami strict liability.

Paling penting, kata dia, strict liability tidak berkaitan dengan pidana, tapi perdata, ini bukti kesalahan fatal naskah akademik RUU Cipta Kerja. Andri menegaskan strict liability sudah diadopsi banyak negara dan diakui dalam hukum lingkungan di Indonesia sejak 1982. “Penghapusan konsep strict liability merupakan kemunduran 40 tahun,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Pelemahan UU Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja: Suara dari Akademisi”, Kamis (3/9/2020). (Baca Juga: Tiga Indikasi State Capture Corruption dalam RUU Cipta Kerja)

Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi administratif yang diatur Pasal 76 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009. Sanksi paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 80 No.32 Tahun 2009 masih dipertahankan. Mengingat RUU Cipta Kerja menghapus izin lingkungan dan menggantinya dengan persetujuan lingkungan, kemungkinan tidak akan terjadi sanksi pencabutan izin lingkungan.

Berbeda dengan ketentuan UU No.32 Tahun 2009 yang secara tegas mengatur sanksi administratif, antara lain pembekuan atau pencabutan izin lingkungan. “RUU Cipta Kerja tidak tegas menjelaskan apa konsekuensi (sanksi, red) jika persetujuan lingkungan yang dicabut/dibatalkan,” paparnya.

Sanksi pidana terkait lingkungan hidup yang diatur RUU Cipta Kerja, menurut Andri sangat absurd. Misalnya, RUU Cipta Kerja mengubah banyak pasal pidana seperti Pasal 98, 99, 102, 104, 109 dan 110 UU No.32 Tahun 2009. Sanksi pidana pokok yang tersedia bagi sejumlah pasal itu berupa penjara. Padahal sanksi pidana bentuknya tidak hanya penjara tapi juga denda, dan sanksi pidana bagi korporasi tidak dapat berupa penjara/kurungan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait