KUHAP Ikut Melanggengkan Praktik Penyiksaan
Utama

KUHAP Ikut Melanggengkan Praktik Penyiksaan

Pemulihan korban penyiksaan melalui mekanisme ganti rugi perlu dilakukan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi narasumber webinar tentang penyiksaan yang diselenggarakan FH Unpar Bandung (28/8). Foto: Istimewa
Ilustrasi narasumber webinar tentang penyiksaan yang diselenggarakan FH Unpar Bandung (28/8). Foto: Istimewa

Jalan untuk menghapus praktik penyiksaan dalam proses penyidikan suatu perkara masih panjang. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5 Tahun 1998, toh penyiksaan masih terus terjadi. Kajian yang dilakukan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) masih menemukan sejumlah praktik penyiksaan.

Dalam webinar yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung, Jum’at (28/8) lalu, terungkap beberapa contoh penyiksaan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum. Ironisnya, penyiksaan itu dilakukan dengan tujuan mendapatkan pengakuan tersangka atau saksi. Padahal dalam konsep sistem peradilan pidana modern, pengakuan itu bukan alat bukti utama.

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan terakhir, pengakuan terdakwa. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangannya di luar sidang ‘dapat’ dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung suatu alat bukti yang sah.

Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Totok Yulianto, mengatakan aturan KUHAP justru turut melanggengkan praktik penyiksaan. Salah satunya ketentuan masa penahanan yang panjang. Penyidik dapat memperpanjang masa penahanan tanpa adanya kejelasan penangguhan. Acapkali orang yang disiksa tak dapat mengungkapkan penyiksaan yang dialami karena terus menerus ditahan, dan bekas penyiksaan sudah sembuh selama proses penahanan itu. Kondisi itu, kata Totok, diperparah oleh lemahnya fungsi kontrol dalam sistem peradilan pidana.

Selain itu, penyidik lebih mementingkan mencari kebenaran materiil dan mengabaikan prosedural. Di persidangan, komplain mengenai aspek prosedural juga acapkali diabaikan hakim. Terlihat, misalnya, hakim yang lebih mempercayai Berita Acara Pemeriksaan daripada melakukan pemeriksaan di persidangan. Padahal seharusnya keterangan terdakwa di persidanganlah yang dipergunakan dalam pembuktian, bukan yang ada dalam BAP.  “Keterangan di berkas perkara lebih dipercaya dibandingkan keterangan terdakwa di persidangan,” ujarnya.

Selain KUHAP, Totok berpendapat masih ada enam faktor lain yang melanggengkan praktik penyiksaan di Indonesia. Keenam faktor tersebut adalah penyiksaan belum tegas dianggap sebagai tindak pidana; pelakunya penegak hukum; minimnya pengawasan penegak hukum; tidak ada institusi khusus yang menangani penyiksaan; opini masyarakat; dan pengalaman traumatis korban.

Perundang-undangan Indonesia belum menyebutkan secara eksplisit bahwa tindakan penyiksaan yang dilakukan dalam penyidikan sebagai tindak pidana. Totok melihat pada realitas penyiksaan tersangka atau saksi korban yang terungkap ke permukaan tanpa diikuti proses pidana terhadap pelaku. Walauun ada, lebih banyak diselesaikan secara internal dan dianggap sekadar pelanggaran kode etik. Akibatnya, tidak ada efek jera terhadap pelaku penyiksaan.

Tags:

Berita Terkait