Tiga Catatan IGJ atas RUU Cipta Kerja
Berita

Tiga Catatan IGJ atas RUU Cipta Kerja

Diantaranya investasi tidak dibarengi komitmen kuat perlindungan HAM; agenda pembangunan ekonomi tidak dibarengi penguatan kepastian hukum untuk korban kegiatan investasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Pemerintah dan DPR masih membahas daftar isian masalah (DIM) masing-masing klaster RUU Cipta Kerja. Pemerintah berdalih RUU Cipta Kerja perlu segera dituntaskan untuk memudahkan berusaha dan meningkatkan investasi baik lokal maupun asing. Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menilai pemerintah mengandalkan perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) dan RUU Cipta Kerja untuk menjawab persoalan ekonomi di Indonesia.

Bahkan, kata dia, pemerintah berupaya semakin berperan dalam perdagangan internasional melalui skema Global Value Chain yakni mendorong ekspor dengan mengandalkan investasi. Rachmi mengingatkan sedikitnya ada 3 hal yang perlu dicermati pemerintah sebelum menarik investasi asing melalui perjanjian perdagangan bebas dan RUU Cipta Kerja.

Pertama, apa strategi yang akan diterapkan pemerintah terkait perlindungan pelaku usaha kecil, menengah, dan konsumen domestik. Misalnya, soal keamanan pangan, sertifikasi halal, dan karantina. Perjanian perdagangan internasional sering mewajibkan negara pihak untuk menuangkan perjanjian itu dalam regulasi nasional. Misalnya, ada larangan penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Rachmi juga menyoroti RUU Cipta Kerja yang mengubah sejumlah ketentuan seperti penghapusan Pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten yang mendorong adanya transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Begitu pula dengan RUU Cipta Kerja terhadap UU tentang Penanaman Modal, dan UU Minerba.

Kedua, karpet merah yang diberikan untuk investasi tidak dibarengi dengan komitmen kuat perlindungan HAM. Rachmi mencatat beberapa hal yang kerap disebut mengganggu investasi di Indonesia, seperti prosedur perizinan, pengadaan, dan harga lahan, persoalan regulasi, dan upah buruh. Menurutnya, RUU Cipta Kerja akan mengakomodir perjanjian perdagangan internasional yang membuka ruang baru untuk korporasi melakukan monopoli terhadap sumber-sumber yang dimiliki rakyat.

“Agenda pembangunan ekonomi ini tidak dibarengi penguatan kepastian hukum untuk korban kegiatan investasi. Misalnya, implementasi RAN-HAM tidak jelas, dan penanganan kasus pelanggaran HAM sangat lambat,” kata Rachmi dalam diskusi secara daring, Senin (7/9/2020). (Baca Juga: Amnesty International: RUU Cipta Kerja Berpotensi Merampas Hak Buruh)

Ketiga, percepatan penyelesaian perjanjian perdagangan bebas dan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi akan menimbulkan krisis kedaulatan rakyat. Indonesia telah menjalin perjanjian perdagangan bebas dengan berbagai negara seperti Jepang, China, dan lainnya melalui ASEAN. Rachmi mengingatkan penciptaan momentum investasi melalui perjanjian perdagangan bebas dan RUU Cipta Kerja (omnibus law) tidak menjamin investasi akan segera masuk, apalagi pandemi Covid-19 belum berakhir.

Tags:

Berita Terkait