Perkara Kepailitan dan PKPU Diprediksi Lampaui Krisis 1998
Berita

Perkara Kepailitan dan PKPU Diprediksi Lampaui Krisis 1998

Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia sejak akhir 2019, memberikan dampak yang dahsyat terhadap situasi ekonomi global. Keterbatasan ruang gerak manusia membuat roda perekonomian menjadi macet, termasuk Indonesia.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Situasi Covid-19 jelas memberikan tekanan yang sangat berat untuk dunia usaha. Di Indonesia, pemerintah telah mengupayakan berbagai hal untuk membangkitkan ekonomi lewat bauran kebijakan. Namun pada faktanya, kebijakan ini tak membantu semua pihak. Dalam beberapa sisi ada usaha-usaha yang terpaksa gulung tikar atau harus melakukan restrukturisasi utang demi menyelamatkan keberlansungan usahanya.

Fakta tersebut didukung oleh jumlah pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan, terutama di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat). Sejak Januari 2020, permohonan PKPU dan pailit melonjak yakni mencapai angka 318 permohonan, dengan mayoritas 278 perkara PKPU dan sisanya pailit.

Jika dibanding dengan data tahun lalu di PN Pusat, terdapat selisih perkara yang cukup signifikan. Berdasarkan data yang dihimpun Hukumonline, perkara PKPU dan Kepailitan per September tahun lalu berada di angka 257, atau selisih 131 perkara dari tahun ini. (Baca Juga: Kepailitan, Momok Menakutkan di Masa Pandemi)

Angka ini sekaligus menjadi sinyal dan ‘warning’ bagi ekonomi Indonesia. Bahkan tak menutup kemungkinan jika perkara PKPU dan pailit di masa krisis ekonomi di tahun 2020 bakal melebihi perkara PKPU dan pailit pada krisis ekonomi tahun 1998 silam. Setidaknya begitulah pandangan dari kurator Imran Nating saat dihubungi oleh hukumonline, Senin (7/9).

“Perkiraan kalau melihat per hari ini saja di PN Jakpus PKPU sudah 278 permohonan, seluruh Indonesia sudah 400 an, kemungkinan agak lebih berat dari krisis 1998,” kata Imran.

Imran menyebut bahwa posisi krisis ekonomi di tahun 2020 berbeda dengan krisis ekonomi pada tahun 1998. Jika tahun 1998 krisis ekonomi hanya melanda negara Asia, saat ini krisis melanda dunia. Pembatasan ruang gerak membuat semua orang menahan diri, sulit mendapatkan dana atau founding, dan akan berdampak pada sulitnya perusahaan untuk mempertahankan kinerja. (Baca Juga: Hanson Internasional Pailit, Legislator Khawatirkan Nasib Nasabah Jiwasraya)

“Sekarang krisis ekonomi terjadi seluruh dunia. Kalau dulu (1998), enggak ada duit orang bisa kerja, sekarang susah karena gerak terbatas. Semua menahan diri akibatnya sulit mendapatkan dana pinjaman, dan susah mempertahankan kinerja. Kemungkinannya akan lebih besar dari tahun 1998, dan sebagian besar mengarah ke PKPU,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait