Mendesak Penghentian Pembahasan RUU Cipta Kerja dan Perundingan Perdagangan Internasional
Berita

Mendesak Penghentian Pembahasan RUU Cipta Kerja dan Perundingan Perdagangan Internasional

Dalam perjanjian investasi dan bab investasi yang dikedepankan adalah perlindungan investor yang berlebihan hingga bisa menggugat Negara melalui mekanisme ISDS (Investor State Dispute Settlement) di arbitrase internasional.

Oleh:
Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Strategi pemulihan ekonomi nasional dengan penguatan kebijakan liberalisasi ekonomi yang hanya berfokus pada investasi dan ekspor hanya akan semakin membuka ruang monopoli korporasi atas sumber daya ekonomi. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi menilai, hal ini akan berdampak pada hilangnya keadilan ekonomi terhadap aktor utama ekonomi rakyat seperti petani, nelayan, UKM, dan perempuan.

Koalisi menilai, langkah pemerintah dengan menguatkan perundingan perjanjian perdagangan dan investasi internasional, serta RUU Omnibus Cipta kerja sebagai strategi menarik investasi bukanlah langkah yang tepat di tengah pandemi. Karena itu, koalisi ini mendesak agar Pemerintah dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law dan tidak meratifikasi seluruh bentuk perjanjian perdagangan dan investasi internasional (WTO, FTA, dan BIT), khususnya di tengah pandemi.

Untuk diketahui, saat ini Indonesia tengah merundingkan perjanjian perdagangan bebas diantaranya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dan Indonesia European Union CEPA (I-EU CEPA), serta beberapa diantaranya sedang menunggu untuk diratifikasi seperti IA CEPA, I-EFTA CEPA, IKorea CEPA, dan sebagainya. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga sedang merundingkan perjanjian investasi bilateral dengan Negara Swiss.

“Karpet merah” untuk investasi ini menurut koalisi sebenarnya kerap menimbulkan persoalan terhadap kedaulatan negara karena membuka potensi negara digugat oleh korporasi. Hal ini muncul dari komitmen yang diikatkan oleh Pemerintah Indonesia di berbagai perjanjian perdagangan dan investasi internasional. (Baca: Tiga Catatan IGJ atas RUU Cipta Kerja)

Peneliti TWN (Third World Network), Lutfiyah Hanim mengatakan, langkah pemerintah meratifikasi FTA (free trade agreement) dan BIT (bilateral investment treaty) yang mengatur tentang perlindungan investasi memiliki konsekuensi besar terhadap ruang kebijakan negara khususnya ketika mekanisme sengketa investasi antara korporasi dan negara (Investor-State Dispute settlement) ikut dikomitmenkan.

Menurut Hanim, dalam perjanjian investasi dan bab investasi, yang dikedepankan adalah perlindungan investor yang berlebihan hingga bisa menggugat Negara melalui mekanisme ISDS (Investor State Dispute Settlement) di arbitrase internasional. Hal ini bahkan menarik perhatian kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia. Hanim menyebutkan bahwa ada keprihatinan atas situasi ini.

“Ketika sumber daya negara menipis karena harus merespon krisis yang terjadi, dana publik seharusnya difokuskan pada upaya penyelamatan kehidupan, lapangan kerja dan ruang hidup, ketimbang untuk membayar klaim ganti rugi gugatan ISDS atau biaya perkara kasus ISDS yang tinggim” ujar Hanim melalui keterangannya, Senin (7/9).

Tags:

Berita Terkait