Cerita Penghapusan Pasal Pengaduan Konstitusional dalam RUU MK
Berita

Cerita Penghapusan Pasal Pengaduan Konstitusional dalam RUU MK

Karena dianggap beraroma kepentingan. Diperlukan kajian pendalaman dan diharapkan dapat dibahas secara khusus antara DPR dan pemerintah.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk 'RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?' di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (8/9). Foto: Humas DPR
Sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk 'RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?' di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (8/9). Foto: Humas DPR

Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sudah disahkan menjadi UU pada pekan lalu. Namun pembahasan yang dinilai bersifat tertutup ini menyisakan pertanyaan terutama terkait penghapusan rumusan norma pasal constitutional complaint (pengaduan konstitusional) yang semula termuat dalam draf RUU MK. Lantas, seperti apa dinamika pembahasan yang kemudian menghilangkan rumusan pasal constitutional complaint?.

Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU MK Benny Kabur Harman mengakui semula dalam draf awal terdapat rumusan norma pasal konstitusional komplain dan sempat pula dibahas. Fraksi Gerindra dan Demokrat memberikan opsi rumusan norma konstitusional komplain yang tertuang dalam Pasal 10 A draf RUU MK.

Pasal 10 A ayat (1) RUU MK menyebutkan, “Dalam hal Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah berwenang memeriksa permohonan pengaduan konstitusional yang diajukan oleh warga negara terkait dengan keputusan atau tindakan pejabat  publik dalam hal melakukan tindakan inkonstitusional dalalm melaksanakan undang-undang.”

Sedangkan Pasal 10 A ayat (2)-nya menyebutkan, “Pengaduan konstitusional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan apabila: a. mengandung benturan kepentingan dengan mahkamah dan/atau hakim konstitusi: dan/atau b. putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.”

Benny menegaskan sikapnya mendukung keberadaan pasal konstitusional komplaint. Bahkan banyak fraksi partai dalam pembahasan mendukung keberadaan pasal konstitusional komplain ini untuk menambah kewenangan baru bagi MK. Kewenangan ini untuk menguji setiap tindakan pemerintah, pejabat publik yang dianggap melanggar konstitusi.

Dalam dinamika pembahasan, kata Benny, ada pula yang mengusulkan agar tindakan pejabat publik mesti dimaknai secara luas. Mulai setiap tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diajukan pengaduan ke MK agar diberhentikan. “Apakah ada tindakan pejabat publik yang melanggar konstitusi? Banyak sekali dan banyak sekali korbannya,” ujar Benny K Harman dalam diskusi bertajuk “RUU Mahkamah Konstitusi: Bagaimana Memperkuat Kekuasaan Kehakiman?” di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (8/9/2020). (Baca Juga: RUU MK Disahkan dan Alasan Penghapusan Konstitusional Komplain)

Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR periode 2014-2019 itu melanjutkan ada pula yang mengusulkan supaya tak hanya tindakan, namun setiap keputusan yang diambil pejabat negara dapat dimaknai sebagai UU. Apabila dianggap atau merasakan adanya tindakan pelanggaran hak konstitusional seseorang, maka dapat diajukan ke MK untuk diuji atau dibatalkan.

Tags:

Berita Terkait