Nama Pak Tjip dalam Diskusi Cita Negara Hukum
Berita

Nama Pak Tjip dalam Diskusi Cita Negara Hukum

Negara hukum seharusnya membahagiakan rakyatnya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi suasana sidang. Pengadilan berperan memutus perkara dan menemukan hukum. Foto: MYS
Ilustrasi suasana sidang. Pengadilan berperan memutus perkara dan menemukan hukum. Foto: MYS

Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum, bukan berdasar atas kekuasaan. Landasan konstitusional itu acapkali diikuti dengan konsep negara hukum. Negara hukum Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila, bukan sistem hukum liberal dan bukan pula sistem hukum sosialis. Tetapi konsep negara hukum itu akan menjadi konsep belaka jika tidak digunakan untuk membahagiakan masyarakat.

Dalam diskursus negara hukum kalangan akademisi dan praktisi acapkali merujuk pada pandangan Satjipto Rahardjo, Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang yang semasa hidupnya menggagas hukum progresif. Menurut Pak Tjip, begitu ia biasa disapa murid-muridnya, hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan dibuat untuk manusia, untuk kesejahteraan manusia, atau untuk membahagiakan manusia.

Gagasan-gagasan besar Pak Tjip tentang hukum dan negara hukum yang membahagiakan masyarakat kembali mengemuka dalam diskusi Serumpun ‘Transformasi Cita Hukum Mewujudkan Indonesia Maju’ yang digelar Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB), Selasa (9/9).

Nama Pak Tjip secara langsung disinggung Faisal, dosen FH UBB, saat menyampaikan pandangan kritis terhadap praktik negara hukum saat ini. Setelah melihat berbagai realitas, Faisal berpandangan bahwa negara hukum Indonesia saat ini ‘tidak sedang baik-baik saja’. Dosen hukum pidana itu menunjuk bagaimana negara hukum lewat aparatnya hadir menakut-nakuti rakyat dengan melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang berbeda pendapat. Akibatnya, warga dilanda rasa takut menyampaikan pendapat karena dilaporkan oleh orang-orang tertentu. “Negara hukum harus bisa menjembatani rakyatnya untuk mendapatkan kebahagiaan,” tegas Faisal saat tampil sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.

Sebagaimana digagas Pak Tjip selama hidupnya, seharusnya hukum itu dibuat untuk membahagiakan masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Pak Tjip berkali-kali menyinggung penegakan hukum yang menusiawi. Penegakan hukum tidak sekadar kata-kata hitam putih dari peraturan (according to the letter), tetapi berdasarkan pada semangat dan makna yang lebih dalam dari peraturan perundang-undangan. Penegakan hukum bukan hanya membutuhkan kecerdasan intelektual seperti mengetahui pasal-pasal yang pas untuk menjerat pelaku kejahatan, tetapi juga harus dilakukan dengan kecerdasan spiritual.

(Baca juga: Menggali Karakter Hukum Progresif).

Faisal, doktor lulusan FH Undip, negara hukum saat ini terjebak pada retorika rasio instrumental, bukan substansi. Akibatnya, argumentasi moral seolah terasing karena persaingan kepentingan dan kekuasaan. Dalam bahasa Pak Tjip, hukum itu harus dijalankan dengan kecerdasan spiritual.

Menipisnya moralitas dalam penegakan hukum juga ditunjukkan oleh Asep N. Mulyana. Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung ini memberi contoh sejumlah kasus seperti perkara Kakek Sarmin yang dituduh mencuri getah karet seharga 17.450 rupiah dan dihukum 2 bulan 4 hari penjara, dan kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri 3 buah kakao dan divonis pengadilan 1 bulan 15 hari. Banyak contoh sejenis yang menunjukkan tujuan negara hukum tak sepenuhnya dirasakan rakyat. Rakyat akhirnya mendengungkan adagium ‘hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah’. Berapa banyak uang negara untuk mengurus kasus-kasus yang mengganggu rasa keadilan semacam itu?

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait