Koalisi Ingatkan, Asal Kritik Kebijakan PSBB Berpotensi Melawan Hukum
Berita

Koalisi Ingatkan, Asal Kritik Kebijakan PSBB Berpotensi Melawan Hukum

Karena Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan memuat sanksi bagi orang yang tidak mematuhi dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagai kewajiban. Koalisi memohon kepada Presiden Jokowi untuk tidak ingkar janji untuk mengutamakan kesehatan warga negara sebagai kunci pemulihan ekonomi bangsa.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pelaksanaan pengawasan PSBB di Jakarta pada Mei lalu. Foto: RES
Pelaksanaan pengawasan PSBB di Jakarta pada Mei lalu. Foto: RES

Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan telah memutuskan Jakarta “menarik rem darurat” dengan melaksanakan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total mulai Senin, (14/9/2020). Kebijakan itu diambil untuk menekan penularan Covid-19 yang jumlahnya terus merangkak naik dalam sepekan terakhir. Selain tingginya tingkat penularan, alasan utama kebijakan PSBB Jakarta ini keterbatasan ruangan dan tempat tidur isolasi serta SDM rumah sakit.  

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito mengatakan Jakarta merupakan salah satu dari 18 daerah yang sejak awal melaksanakan PSBB. "Saat ini yang masih menjalankan PSBB adalah DKI Jakarta dan Banten. Sedangkan kabupaten/kota, Kota Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Depok,” ujar Wiku seperti dikutip covid19.go.id, Kamis (11/9/2020). (Baca Juga: Darurat! Mulai 14 Desember, DKI Jakarta Kembali Terapkan PSBB)

Wiku mengingatkan pelaksanaan PSBB mengacu pada UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; Keppres No.11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19; dan Keppres No.12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional. Selain itu, Permenkes No.9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB; Keputusan Menteri Kesehatan No.239 Tahun 2020 tentang Penetapan DKI untuk PSBB; Pergub DKI Jakarta No.33 Tahun 2020 tentang PSBB; dan Pergub DKI Jakarta No.51 Tahun 2020 tentang PSBB Transisi.

Berdasarkan regulasi tersebut, Wiku menjelaskan pelaksanaan PSBB bisa dilakukan dalam beberapa tahap seperti Jilid 1, 2, dan 3. Ada kegiatan yang dilarang seperti aktivitas perkantoran dan hanya 11 sektor usaha yang dibolehkan untuk tetap beroperasi dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Menurut Wiku, PSBB harus dilakukan sejak awal untuk menekan penyebaran dan tingkat kematian akibat Covid-19. Dia mengimbau kepada setiap daerah untuk menekan penularan terutama daerah yang masuk zona merah dan oranye.

Berdasarkan peta zona risiko, ada 5 provinsi dengan kasus tertinggi yakni DKI Jakarta (46.333); Jawa Timur (35.643); Jawa Tengah (15.351); Sulawesi Selatan (12.684); dan Jawa Barat (12,505). Lalu 5 provinsi dengan jumlah kematian tertinggi ialah Jawa Timur (2.545); DKI Jakarta (1.271); Jawa Tengah (1.084); Sulawesi Selatan (371); dan Kalimantan Selatan (370). 

Keputusan Anies Baswedan kembali memberlakukan PSBB ini menuai pro dan kontra dari sejumlah pejabat publik. Misalnya, Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, menyebut kebijakan PSBB ini membuat saham Indonesia rontok. Dia memperkirakan saham yang rontok mencapai Rp300 triliun, sehingga berpotensi mengganggu kegiatan korporasi dan menghambat kelangsungan usaha ritel.

“Kalau korporasi hancur, maka ritel hancur,” ujar Said Abdullah seperti diberitakan Antara, Jumat (11/9/2020).

Tags:

Berita Terkait